Faq Tax

Topik

Apa yang dimaksud dengan prepopulated?

Prepoopulated, baik Pajak Masukan maupun PIB, merupakan fitur terbaru yang ada di e-Faktur 3.0.
Pada aplikasi sebelumnya, e-Faktur 2.2, setiap kali anda memperoleh Faktur Pajak atas perolehan BKP/JKP dari lawan transaksi, Anda harus melakukan input (1) secara manual (key-in) (2) melalui skema impor (3) melalui aplikasi scanner efaktur ke aplikasi e-Faktur.
NOTE: aplikasi scanner efaktur yang beredar saat ini dikembangkan oleh pihak ketiga dan bukan dikembangkan oleh DJP dan tidak memperoleh persetujuan dari DJP. JANGAN DIGUNAKAN!

‍eFaktur 3.0 akan menyediakan data Pajak Masukan yang dapat anda kreditkan by system. Sehingga anda tidak lagi perlu melakukan input secara manual ke aplikasi e-Faktur.

Sementara itu untuk prepopulated SPT, ketika anda ditetapkan sebagai e-Faktur 3.0, pelaporan SPT Masa PPN tidak lagi dilakukan melalui aplikasi e-Faktur Client Desktop namun menggunakan aplikasi e-Faktur Web Based. Seluruh data Pajak Keluaran dan Pajak Masukan yang tersedia untuk dilaporkan di SPT Masa PPN akan disediakan melalui e-Faktur Web Based tersebut

Bagaimana Anda dapat menggunakan aplikasi e-Faktur 3.0?

Melalui Pengumuman Nomor PENG-11/PJ.09/2020 tentang Implementasi Nasional Aplikasi e-Faktur Desktop Versi 3.0, DJP secara resmi mengumumkan bahwa implementasi e-Faktur Client Desktop versi 3.0 secara nasional akan dilaksanakan pada 1 Oktober 2020.

https://pajak.go.id/id/pengumuman/implementasi-nasional-aplikasi-e-faktur-desktop-versi-30

Implementasi prepopulated PM dan SPT Masa PPN pada aplikasi e-Faktur 3.0 dilakukan secara bertahap.

Dimulai terbatas pada 4 PKP di lingkungan KPP Wajib Besar pada Februari 2020.
Dilanjutkan perluasan implementasi pada 31 PKP terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Madya Jakarta pada 10 Juni 2020.
Pada 1 Agustus 2020, dilakukan implementasi pada seluruh PKP di KPP Wajib Pajak Besar, seluruh PKP di KPP Madya di Jakarta dan 19 PKP terdaftar di KPP Madya dan Pratama di luar Jakarta.
Implementasi selanjutnya adalah 1 September 2020 untuk 5 PKP terdaftar di KPP Pratama yang telah menyampaikan usulan.
Implementasi secara nasional akan dilakukan pada 1 Oktober 2020 untuk Masa Pajak September 2020.

Untuk dapat menggunakan aplikasi e-Faktur 3.0, anda harus telah terdaftar sebagai pengguna e-Faktur 3.0. Dalam hal anda sudah ditetapkan sebagai pengguna e-Faktur 3.0, anda dapat mendownload aplikasi terbaru di efaktur.pajak.go.id

Apakah implementasi e-Faktur 30 per 1 Oktober 2020 wajib bagi seluruh PKP?

Anda PKP yang saat ini masih menggunakan e-Faktur 2.2, per tanggal 1 Oktober 2020 wajib beralih ke e-Faktur 3.0.

Tidak ada Keputusan Direktur Jenderal Pajak baru yang diterbitkan kepada PKP. Kepdirjen yang berlaku adalah KEP-136/PJ/2014 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak yang Diwajibkan Membuat Faktur Pajak Berbentuk Elektronik.

Perhatian: Setiap ada perubahan atau update versi aplikasi e-Faktur, Anda tidak dapat menggunakan aplikasi versi yang lama kembali. Aplikasi e-Faktur versi 2.2 rencananya akan ditutup pada 5 Oktober 2020.

Bagaimana jika perusahaan anda tidak ditunjuk sebagai pengguna aplikasi e-Faktur 3.0 namun sudah telanjur melakukan instalasi aplikasi e-Faktur 3.0?

Anda tetap dapat menggunakan aplikasi e-Faktur 3.0 dan tidak perlu kembali ke e-Faktur 2.2. Namun demikian, anda tidak dapat menggunakan fitur tambahan yang ada di e-Faktur 3.0.

Ketika sudah telanjur pake e-Faktur 3.0, apa berarti sudah tidak bisa lagi pake e-Faktur versi sebelumya (versi 2.2) ?

Ketika perusahaan anda sudah ditetapkan sebagai PKP pengguna e-Faktur 3.0 atau sudah melakukan instalasi e-Faktur 3.0, perusahaan anda tidak dapat lagi menggunakan e-Faktur 2.2.

Apa saja fitur tambahan di aplikasi e-Faktur 3.0?

Prepopulated Pajak Masukan
Prepopulated PIB
Prepopulated SPT
Sinkronisasi kode cap fasilitas

Setelah dilakukan download versi terbaru, file manakah yang harus di-copy dan di-replace ke database existing?

Ketiga File (ETaxInvoice, EtaxInvoiceMain, dan EtaxInvoiceUpd) dicopy seluruhnya dan akan mereplace file existing.
Selanjutnya Wajib Pajak dapat menjalankan ETaxInvoice.exe

‍Wajib Pajak diminta untuk tetap melakukan backup data secara manual.

Jika sudah berhasil update ke versi 3.0 silahkan me-rename file ETaxInvoiceUpd.exe menjadi ETaxInvoiceUpd_backup.exe (Pastikan aplikasi dalam posisi tertutup)
‍Tujuannya supaya setiap kali aplikasi dibuka tidak melakukan backup otomatis, dimana proses ini biasanya membutuhkan waktu yg cukup lama apabila ukuran database nya besar.
Selanjutnya : pastikan melakukan backup folder db secara manual dengan menutup aplikasi efaktur terlebih dahulu, karena backup otomatisnya sudah tidak aktif.

Apa yang harus anda lakukan ketika anda baru saja dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan belum pernah menggunakan aplikasi e-Faktur sebelumnya?

Bagi anda PKP baru per 1 Oktober 2020 terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bahwa Aplikasi e-Faktur 3.0 yang tersedia di https://efaktur.pajak.go.id/aplikasi merupakan Patch Update yang harus ditambahkan kepada aplikasi e-Faktur versi sebelumnya (dalam hal ini e-Faktur versi 2.2).

Dengan demikian, anda yang merupakan PKP baru dapat melakukan langkah berikut ini:

Download aplikasi e-Faktur versi 2.2 dan Patch Update Aplikasi e-Faktur 3.0
Extract aplikasi e-Faktur versi 2.2
Silahkan install aplikasi e-Faktur versi 2.2 terlebih dahulu sebelum Patch Update Aplikasi e-Faktur 3.0
Extract Patch Update Aplikasi e-Faktur 3.0
Copy seluruh file (3 file) hasil extract Patch Update Aplikasi e-Faktur 3.0
Paste file nomor (5) ke aplikasi e-Faktur versi 2.2
Jalankan instalasi aplikasi e-Faktur

Terkait dengan update database, apakah dilakukan di server atau juga harus dilakukan di client?

Update e-Faktur versi 3.0 dilakukan baik di sisi server maupun sisi client.

Apakah maksud dari Faktur Pajak tersedia di e-Faktur, apakah data Faktur Pajak masukan otomatis sudah di data Pajak Masukan?atau template lain ?apakah nanti bisa di-edit Masa Pajak-nya, atau tidak dikreditkan terlebih dahulu, atau kebutuhan lainnya?

“Faktur Pajak Masukan tersedia pada menu prepopulated tidak dimaksudkan langsung akan masuk pada menu administrasi Pajak Masukan tanpa dilakukan upload.

PENTING: Anda harus menentukan terlebih dahulu Masa Pajak dan Tahun Pajak pengkreditan, dan kemudian melakukan get data. Pajak Masukan yang muncul dan tersedia sifatnya data prepopulated berdasarkan Pajak Masukan untuk Masa Pajak yang dipilih dan 3 Masa Pajak sebelumnya yang belum anda kreditkan.

Selanjutnya, dalam hal ada Pajak Masukan yang muncul melalui prepopulated data Pajak Masukan dan anda tidak bermaksud untuk mengkreditkan di Masa Pajak yang dipilih, silahkan biarkan data Pajak Masukan tersebut.

Pilih Pajak Masukan yang akan dikreditkan dan status pengkreditannya (B1/B2/B3). Selanjutnya lakukan upload dan data tersebut akan masuk ke daftar administrasi Pajak Masukan. Pajak Masukan yang tidak dipilih untuk di-upload akan kembali muncul sebagai Pajak Masukan yang tersedia untuk dikreditkan di Masa Pajak berikutnya (sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan).

Fitur ubah pengkreditan digunakan dalam hal anda bermaksud mengubah status pengkreditan dari DIKREDITKAN (B1/B2) menjadi TIDAK DIKREDITKAN (B3) atau sebaliknya (bukan merupakan fitur untuk pindah MASA PAJAK pengkreditan)

Catatan: Fitur prepopulated Pajak Masukan ini merupakan fitur tambahan dan tidak menghilangkan fungsi key-in atau mekanisme import data csv.
Menu ini merupakan alat bantu untuk memudahkan anda agar tidak perlu melakukan input (key-in) atau mekanisme import data.

Untuk impor data Pajak Masukan, nama lawan transaksi banyak perbedaan dengan data lawan. Apakah dengan update saat ini nama lawan transaksi yang di-impor ke e-faktur sudah sesui dengan data lawan transaksi yang terdaftar di DJP/KPP?

Tidak ada perubahan mekanisme impor data lawan transaksi pada e-Faktur versi kali ini.

Apa yang harus dilakukan ketika melakukan upload pada menu prepopulated Pajak Masukan dan terjadi perubahan nama lawan transaksi di administrasi Pajak Masukan (nama berubah menjadi nama entitas sendiri)?

Tidak perlu khawatir ketika melakukan upload pada prepopulated PM kemudian nama lawan transaksi berubah menjadi nama sendiri. Hal ini karena uploader dalam posisi mati. Cukup lakukan start uploader dan refresh menu pada menu administrasi PM anda.

Jika perusahaan memiliki beberapa cabang, apakah dengan sistem e-Faktur web dimana kami dalam e-Faktur lama menggunakan setiap database per bulan dipisah, bagaimana dengan e-Faktur versi baru? Bagaimana Pajak Masukan dibisa diketahui dari cabang mana?

Melalui e-Faktur 3.0, fitur database lokal tetap tersedia, sehingga tetap dimungkinkan dilakukan pemisahan database antar cabang.
Namun demikian, Pajak Masukan yang muncul tidak didasarkan pada cabang namun pada Faktur Pajak yang dibuat kepada NPWP Pusat PKP Pembeli.

Fitur prepopulated ini merupakan fitur tambahan. Dengan demikian, dalam hal belum mengakomodasi kebutuhan anda, anda masih tetap dapat menggunakan mekanisme import data csv seperti biasanya.

Catatan: Cabang dengan mekanisme client -server, yang dapat menggunakan fitur prepopulated ini hanya cabang dengan role login sebagai admin (bukan perekam)

Untuk PKP yang melakukan Pemusatan tempat PPN terutang, apakah get data prepopulated PM bisa dilakukan di cabang atau hanya bisa dilakukan oleh pusat? Jika get data bisa dilakukan di cabang/client apakah perhitungannya masuk ke pusat secara otomatis?

Mekanisme masih sama dengan versi sebelumnya, cabang pemusatan dapat mengkreditkan PM.
Jika sudah di-upload secara lokal di database cabang, untuk muncul di pusat tetap dengan mekanisme export-import data.

Kecuali untuk pelaporan di SPT, karena menggunakan eFaktur Web Based akan otomatis menarik data seluruh Faktur, baik PK atau pun PM yang di-upload sukses, baik di Pusat maupun di Cabang.

Catatan: Cabang dengan mekanisme client -server, yang dapat menggunakan fitur prepopulated ini hanya cabang dengan role login sebagai admin (bukan perekam)

Apakah data Pajak Masukan dan data PIB pada menu prepopulated bisa di export ke excel?

Tampilan prepopulated Pajak Masukan dan PIB dapat di-copy secara manual ke excel.
Saat ini telah TERSEDIA menu download prepopulated Pajak Masukan dan prepopulated PIB pada e-Faktur Web Based.

Berbeda dengan menu prepopulated Pajak Masukan dan prepopulated PIB pada aplikasi e-Faktur Client Desktop 30 yang menyediakan data Pajak Masukan atau PIB yang masih bisa dikreditkan untuk suatu Masa Pajak dan 3 Masa Pajak tidak sama ke belakang, menu download prepopulated Pajak Masukan dan prepopulated PIB menyediakan data berdasarkan Masa Pajak (tidak termasuk Masa Pajak tidak sama).

Pajak Masukan dan/atau PIB yang di-download adalah seluruh Pajak Masukan dan/atau PIB untuk Masa Pajak yang dipilih dalam bentuk rar. Anda dapat melakukan extract file dimaksud dan hasilnya adalah file berbentuk csv.

Catatan: Dalam hal hasil extract-an anda tidak berbentuk file csv, anda dapat me-rename dan menambahkan sendiri .csv di belakang nama file tersebut.

Selanjutnya, file .csv dimaksud dapat dilakukan impor ke menu administrasi Pajak Masukan atau administrasi dokumen lain Pajak Masukan. Melalui mekanisme ini, anda dapat melakukan filter berdasarkan kebutuhan anda sebelum melakukan upload Pajak Masukan tersebut.

Informasi lebih detil dapat dilihat di https://linktr.ee/efakturdjp bagian Bahan materi – Update Tambahan Fitur eFaktur Web Based

Apakah PKP tetap diberikan pilihan untuk import data Pajak Masukan seperti pada aplikasi e-Faktur Dekstop versi 2.2?

Fitur prepopulated disediakan sebagai fitur tambahan untuk membantu perusahaan Saudara. PKP tetap diberikan pilihan skema import data csvPajak Masukan seperti pada versi e-Faktur Client Desktop yang sudah ada sebelumnya.

Pemilihan Pajak Masukan untuk dikredikan pada menu prepopulated apakah bisa per batch atau harus klik satu persatu?

Pengkreditan Pajak Masukan pada menu Prepopulated Pajak Masukan dapat dilakukan per 1000 Pajak Masukan. Pada fitur prepopulated Pajak Masukan juga disediakan menu filter by NPWP atau nomor Faktur, sehingga PKP dapat memilih Pajak Masukan yang akan dikreditkan per Masa Pajak berdasarkan menu dimaksud.

Untuk get data prepopulated apakah dapat diketahui berapa total jumlah PM yang akan di upload?

Untuk saat ini, PKP hanya dapat mengetahui 1000 Pajak Masukan per tampilan menu Prepopulated Pajak Masukan. PKP dapat melakukan konfirmasi jumlah PM yang akan dikreditkan dengan data internal yang dimiliki untuk selanjutnya di-klik halaman sesuai jumlah PM dimaksud.

Saat ini telah TERSEDIA menu download prepopulated Pajak Masukan dan prepopulated PIB pada e-Faktur Web Based.

Berbeda dengan menu prepopulated Pajak Masukan dan prepopulated PIB pada aplikasi e-Faktur Client Desktop 30 yang menyediakan data Pajak Masukan atau PIB yang masih bisa dikreditkan untuk suatu Masa Pajak dan 3 Masa Pajak tidak sama ke belakang, menu download prepopulated Pajak Masukan dan prepopulated PIB menyediakan data berdasarkan Masa Pajak (tidak termasuk Masa Pajak tidak sama).

Pajak Masukan dan/atau PIB yang di-download adalah seluruh Pajak Masukan dan/atau PIB untuk Masa Pajak yang dipilih dalam bentuk rar. Anda dapat melakukan extract file dimaksud dan hasilnya adalah file berbentuk csv.

Catatan: Dalam hal hasil extract-an anda tidak berbentuk file csv, anda dapat me-rename dan menambahkan sendiri .csv di belakang nama file tersebut.

Selanjutnya, file .csv dimaksud dapat dilakukan impor ke menu administrasi Pajak Masukan atau administrasi dokumen lain Pajak Masukan. Melalui mekanisme ini, anda dapat melakukan filter berdasarkan kebutuhan anda sebelum melakukan upload Pajak Masukan tersebut.

Informasi lebih detil dapat dilihat di https://linktr.ee/efakturdjp bagian Bahan materi – Update Tambahan Fitur eFaktur Web Based

Menu ubah pengkreditan apakah harus dilakukan satu per satu?

Bisa dilakukan beberapa sekaligus, disorot kemudian ubah pengkreditan

Catatan: Fitur ubah pengkreditan digunakan dalam hal anda bermaksud mengubah status pengkreditan dari DIKREDITKAN (B1/B2) menjadi TIDAK DIKREDITKAN (B3) atau sebaliknya (bukan merupakan fitur untuk pindah MASA PAJAK pengkreditan)

Jika PKP pembeli sudah lapor Pajak Masukan, apakah PKP penjual bisa membatalkan FP yang dia terbitkan

Penjual baru dapat membatalkan Faktur Pajak yang sudah dikreditkan oleh Pembeli setelah memperoleh persetujuan pembeli.

Pembatalan Faktur Pajak oleh PKP Penjual atas Faktur Pajak yang sudah dikreditkan oleh PKP Pembeli mensyaratkan persetujuan pembatalan Faktur Pajak dimaksud oleh PKP Pembeli sebelum dapat sepenuhnya dapat dibatalkan oleh PKP Penjual.

Jika Pajak Masukan Prepopulated normal sudah diturunkan dan masuk ke Pajak Masukan. Kemudian lawan melakukan pembetulan/penggantian Faktur. Apakah ada notifikasi khusus bahwa telah terjadi pembetulan secara realtime?

Saat ini belum ada notifikasi realtime karena aplikasi nya masih menggunakan desktop sehingga tidak memungkinkan memberikan push notification.

Namun demikian, Faktur Pajak yang diganti atau dibatalkan secara sepihak (tanpa pemberitahuan ke PKP Pembeli) sebelum dikreditkan oleh Pembeli tidak akan tersedia pada menu Prepopulated Pajak Masukan sehingga tidak dapat dikreditkan oleh PKP Pembeli.

Catatan: Anda dapat memastikan ada tidaknya penggantian Faktur Pajak yang dilakukan oleh Penjual tanpa pemberitahuan kepada anda dengan melakukan get data pada menu prepopulated Pajak Masukan pada Masa Pajak tertentu.

Untuk Faktur Pajak Masukan yang di-prepopulated, apakah dimungkinkan dilakukan pengkreditan Pajak Masukan sebagian untuk kondisi Pajak Masukan yang digunakan untuk melakukan penyerahan terutang PPN dan tidak terutang PPN?

Sama dengan versi sebelumnya, pengkreditan Pajak Masukan sebagian-sebagian tidak dapat dilakukan di suatu Masa Pajak. Silahkan Pajak Masukan dikreditkan secara utuh terlebih dahulu dan pada akhir tahun diperhitungkan dengan mekanisme penghitungan kembali Pajak Masukan.

Login apakah yang digunakan untuk mengakses e-Faktur Web?

Akses eFaktur web dapat dilakukan hanya oleh perusahaan yang sudah ditunjuk melalui https://web-efaktur.pajak.go.id .
Dalam hal kesulitan login, harap dipastikan Sertifikat Elektronik telah terinstall di browser

e-Faktur Web melalui alamat https://web-efaktur.pajak.go.id dapat diakses oleh Pengguna e-Faktur 3.0 yang sudah ditetapkan menggunakan sejak 1 Oktober 2020 pada tanggal 1 Oktober 2020 untuk pelaporan mulai Masa Pajak September 2020.

Anda sudah dapat melihat dan menggunakan fitur yang ada di dalamnya.
Catatan: Pastikan bahwa anda telah melakukan instalasi Sertifikat Elektronik pada browser yang anda gunakan.

Untuk manual instalasi Sertifikat Elektronik menggunakan cara yang sama ketika instalasi Sertifikat Elektronik pada browser untuk permintaan Nomor Seri Faktur Pajak secara online dan dapat dilihat disini https://efaktur.pajak.go.id/resources/manual.pdf

Pastikan Sertifikat Elektronik sudah terinstall di browser anda dan belum expired.

Saat membuka halaman web e-Faktur akan diminta utk memilih Sertifikat Elektronik (dalam hal > 1 Sertifikat Elektronik, pilih 1 yang sesuai), NAMA dan NPWP akan muncul, silahkan masukan PASSWORD ENOFA yang sesuai.
Catatan: Dalam hal instalasi Sertifikat Elektronik dilakukan setelah membuka https://web-efaktur.pajak.go.id, untuk dapat login, agar browser ditutup terlebih dahulu kemudian dibuka kembali.

Pada saat telah menggunakan e-Faktur versi 3.0, apakah proses posting dan lapor SPT dapat dilakukan menggunakan e-Faktur versi 2.2

Implementasi e-Faktur 3.0 secara nasional dilakukan pada 1 Oktober 2020 untuk Masa Pajak September 2020. Dengan demikian, setelah anda menggunakan e-Faktur 3.0, seluruh proses terkait pelaporan SPT dilakukan menggunakan e-Faktur Web Based.

Pelaporan SPT Masa PPN melalui e-Faktur Web Based dimulai sejak Masa Pajak September 2020. Pelaporan SPT Masa PPN menggunakan skema csv melalui DJPOnline dan saluran tertentu lainnya tidak dapat dilakukan mulai Masa Pajak September 2020.

Namun demikian, dalam hal anda akan melakukan pelaporan SPT Masa PPN atau pembetulan SPT Masa PPN untuk Masa Pajak sebelum Masa Pajak September 2020, silahkan melakukan posting SPT pada aplikasi e-Faktur 30 (BUKAN e-Faktur 2.2) kemudian melaporkan csv melalui DJPOnline.

Catatan: Anda yang sudah melakukan instalasi e-Faktur 30, tidak dapat kembali menggunakan e-Faktur 2.2

Jika Wajib Pajak sudah menggunakan Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP) dalam pelaporan SPT, apakah selanjutnya masih bisa digunakan ?

PKP yang menggunakan e-Faktur 3.0 wajib menggunakan e-Faktur Web Based untuk pelaporan SPT Masa PPN atau dalam hal melalui PJAP dilakukan dengan menggunakan mekanisme yang sama dengan pelaporan SPT Masa PPN melalui e-Faktur Web Based.

Pada e-Faktur sebelumnya penarikan data A2 secara PDF. Apakah di update saat ini ada menu untuk ekport A2 secara excel. Penarikan A2 secara excel akan sangat membantu.

Saat ini telah TERSEDIA menu download to csv untuk Lampiran SPT Masa PPN Formulir A1, A2, B1, B2, dan B3 pada menu pelaporan SPT Masa PPN melalui e-Faktur Web Based.

Melalui menu download ini anda dapat menyandingkan data (rekonsiliasi data) yang ditampilkan di SPT Masa PPN dengan data yang anda miliki sebelum dilakukan pelaporan SPT Masa PPN.

Informasi lebih detil dapat dilihat di https://linktr.ee/efakturdjp bagian Bahan materi – Update Tambahan Fitur eFaktur Web Based

Apakah tersedia menu cetak SPT sebelum dilaporkan?

Untuk menu pelaporan SPT Masa PPN melalui e-Faktur Web Based, DJP menyediakan dalam bentuk tampilan SPT. Dalam hal diperlukan, PKP dimungkinkan untuk melakukan posting data SPT Masa PPN melalui aplikasi Client Desktop 3.0 dan melakukan cetak pdf disana sebagai pembanding (namun data yang digunakan untuk pelaporan SPT adalah data sebagaimana e-Faktur Web Based.

Apakah posting SPT Masa PPN bisa dilakukan berulang-ulang? atau hanya bisa sekali posting saja?

Posting dapat dilakukan secara berulang-ulang. Namun demikian hanya disediakan menu Buka dan Hapus SPT. Dalam rangka akan melakukan posting ulang, bisa dilakukan Hapus SPT terlebih dahulu.

Data prepopulated apakah bisa ditambahkan status Faktur Pajak 01 oleh penjual “sudah dilaporkan di SPT Masa PPN atau belum”?

Sesuai ketentuan, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP Pembeli sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 9 UU PPN dan tidak dikaitkan dengan pelaporan di SPT Masa PPN

Pada saat proses pengiriman SPT Masa PPN, apa yang dimaksud dengan upload file lampiran?

Upload file lampiran yang dimaksud disini adalah lampiran kelengkapan SPT Masa PPN sebagaimana disyaratkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2015, sebagai contoh lampiran Daftar Rincian Kendaraan Bermotor (DRKB).

Catatan: Untuk menghindari gagal upload file lampiran ini, upload file kelengkapan SPT anda dengan ukuran minimal (maks. 5Mb)

Apakah proses posting SPT Masa PPN memakan waktu lama?

Dalam hal posting SPT dilakukan dan status masih SPT sedang diproses silahkan refresh brower (ctrl + f5)

Pada saat anda melaporkan SPT Masa PPN melalui e-Faktur Web Based dan diketahui terdapat selisih pada data PM anda, apa yang harus anda lakukan?

“Silahkan lakukan rekonsiliasi data yang ada di e-Faktur Web Based dengan data internal anda (atau data lampiran hasil posting pada e-Faktur Client Desktop)
Untuk mendapatkan data lampiran SPT Masa PPN pada e-Faktur Web Based, silahkan anda buka Administrasi SPT-Monitoring SPT-Buka SPT dan pada lampiran detil pilih Download sesuai lampiran yang anda butuhkan.

Dalam hal diketahui ada data Faktur Pajak Masukan dengan nilai 0 (nol) pada e-Faktur Web Based sementara pada e-Faktur Client Desktop ada nilainya, silahkan lakukan scan QRCode pada pdf e-Faktur dimaksud (Dalam hal diganti, maka status Faktur Pajaknya kan berubah menjadi valid dan diganti).

Selanjutnya pada aplikasi e-Faktur Client Desktop, lakukan proses prepopulated data ulang untuk Masa Pajak tersebut. Anda akan mendapatkan data Pajak Masukan dari Faktur Pajak pengganti, silahkan upload Faktur Pajak Pengganti tersebut kemudian lakukan posting kembali SPT Masa PPN anda pada e-Faktur Web Based.”

Bagaimana prosedur pembetulan SPT untuk Masa Pajak sebelum e-Faktur 3.0?

Pembetulan untuk Masa Pajak sebelum berlakunya e-Faktur 3.0 dilakukan tetap di aplikasi e-Faktur 3.0 dengan mekanisme lapor melalui csv.

Apakah ada yang harus disiapkan sebelum update aplikasi e-Faktur 3.0?

Kami telah menyiapkan infografis yang dapat menjadi panduan PKP dalam melakukan update e-Faktur 3.0, informasi dimaksud dapat dilihat melalui tautan berikut: update efaktur.

Apakah ada penyesuaian terhadap spesifikasi hardware yang direkomendasikan untuk e-Faktur 3.0 ?

Tidak diperlukan penyesuaian terhadap spesifikasi e-Faktur 3.0

Apa itu Pemeriksaan Bukti Permulaan?

Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.

Apa Dasar Hukum dan Ketentuan Terkait Pemeriksaan Bukti Permulaan?

Pasal 43A ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Pasal 60 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

Apa Kewajiban dan Hak Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan?

“Kewajiban:

Orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, wajib:

memberikan kesempatan kepada pemeriksa Bukti Permulaan untuk memasuki dan/atau memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan Bahan Bukti;

memberikan kesempatan kepada pemeriksa Bukti Permulaan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;

memperlihatkan dan/atau meminjamkan Bahan Bukti kepada pemeriksa Bukti Permulaan;

memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis kepada Pemeriksa Bukti Permulaan; dan

memberikan bantuan kepada Pemeriksa Bukti Permulaan guna kelancaran Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Pihak yang berkaitan atau pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan wajib memberikan keterangan dan/atau bukti yang diminta oleh pemeriksa Bukti Permulaan.

Hak:

Orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka mempunyai hak meminta kepada Pemeriksa Bukti Permulaan untuk:

menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan;

memperlihatkan kartu tanda pengenal pemeriksa Bukti Permulaan;

memperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan; dan

mengembalikan Bahan Bukti yang telah dipinjam dan tidak diperlukan dalam proses Penyidikan.”

Apa itu Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan?

“Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu sebagai berikut:

tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat

Polisi Negara Republik Indonesia. Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud di atas disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.”

Apa Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan?

Penyidikan, jika ditemukan Bukti Permulaan yang cukup;
Pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka bahwa tidak dilakukan Penyidikan, jika pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; atau

Penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan, jika tidak ditemukan adanya Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Termasuk dalam pengertian tidak ditemukan adanya Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, yaitu:

calon tersangka tidak dapat diidentifikasi;
satu-satunya calon tersangka meninggal dunia;
daluwarsa penuntutan; dan
nebis in idem.

Bagaimana Prosedur Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan?

Orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka harus menyampaikan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh Wajib Pajak dan disertai dengan:
penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang;
Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pembayaran sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen), sebagai pemulihan kerugian pada pendapatan negara.

Orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat Objek Pajak diadministrasikan dan tembusannya kepada kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Apa Tindak Lanjut Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan yang Disampaikan oleh Wajib Pajak?

“Pemeriksa Bukti Permulaan melakukan pengujian atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang disampaikan Wajib Pajak untuk memastikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan mengirimkan pemberitahuan kepada orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditindaklanjuti dengan Penyidikan.

Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan mengirimkan pemberitahuan kepada orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.”

Apabila Wajib Pajak hanya melakukan penyampaian/pembetulan atas suatu SPT Tahunan PPh saja dan mengajukan permohonan pengurangan/penghapusan sanksi administrasi sesuai PMK-91/PMK.03/2015, apakah Wajib Pajak akan diperiksa atas masa?

“Ya. Wajib Pajak dapat diperiksa sesuai dengan prosedur dan ketentuan pemeriksaan yang berlaku. Pembayaran, pelaporan, dan atau pembetulan yang dilakukan Wajib Pajak sabagaimana dimaksud dalam PMK-91/PMK.03/2015 tidak memberikan jaminan bahwa terhadap Wajib Pajak tidak dilakukan pemeriksaan pajak.

Pada dasarnya, apabila Wajib Pajak melakukan penyampaian/pembetulan SPT Tahunan PPh, maka Wajib Pajak seharusnya juga melakukan penyampaian/pembetulan SPT Masa yang dengan terkait SPT Tahunan PPh tersebut, seperti SPT Masa PPh Pemotongan/Pemungutan dan SPT Masa PPN dan/atau PPnBM.”

Apakah Wajib Pajak dapat diperiksa setelah melakukan permohonan pembetulan atau penghapusan?

Ya. Wajib Pajak dapat diperiksa sesuai dengan prosedur dan ketentuan pemeriksaan yang berlaku, misalnya Direktorat Jenderal Pajak menemukan data lain yang belum dilaporkan. Pembayaran, pelaporan, dan atau pembetulan yang dilakukan Wajib Pajak sabagaimana dimaksud dalam PMK-91/PMK.03/2015 tidak memberikan jaminan bahwa terhadap Wajib Pajak tidak dilakukan pemeriksaan pajak.

Dalam hal Wajib Pajak melakukan kesalahan berulang, bagaimana interpretasi khilaf, padahal diketahui bahwa Wajib Pajak sudah pernah diperiksa?

Atas kesalahan yang dilakukan secara berulang, Wajib Pajak masih dinterpretasikan khilaf sepanjang memenuhi ketentuan dan persyaratan yang diatur dalam PMK-91/PMK.03/2015. Wajib Pajak tidak dapat dianggap khilaf atas suatu masa pajak atau tahun pajak apabila untuk masa pajak dan tahun pajak tersebut telah dilakukan pemeriksaan.

Berapa lama jangka waktu DJP harus menerbitkan keputusan atas permohonan Wajib Pajak?

Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan. Apabila jangka waktu ini terlewati, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan sesuai dengan permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Jika Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan/penghapusan sanksi, bagaimana dengan proses penagihannya?

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan penghapusan/pengurangan sanksi administrasi berdasarkan PMK-91/PMK.03/2015, maka atas STP yang diterbitkan tidak dilakukan tindakan penagihan pajak.

Kapan permohonan kedua bisa diajukan permohonan?

Permohonan kedua dapat diajukan setelah surat keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan yang pertama dikirim.

Apakah Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kembali jika permohonan sebelumnya dikembalikan?

Jika permohonan sebelumnya dikembalikan, berlaku ketentuan:

apabila permohonan dikembalikan karena tidak memenuhi syarat Pasal 4 ayat (2) dan/atau ayat (3) PMK-91/PMK.03/2015 dan merupakan permohonan yang pertama, maka Wajib Pajak dianggap belum mengajukan permohonan sehingga masih berhak mengajukan permohonan paling banyak 2 (dua) kali;
apabila permohonan dikembalikan karena tidak memenuhi syarat Pasal 4 ayat (2) dan/atau ayat (3) PMK-91/PMK.03/2015 dan merupakan permohonan yang kedua, maka Wajib Pajak dianggap belum mengajukan permohonan yang kedua sehingga hanya berhak mengajukan permohonan 1 (satu) kali;
apabila permohonan dikembalikan karena tidak memenuhi ketentuan sebagaimana Pasal 3 dan/atau Pasal 4 ayat (4) PMK-91/PMK.03/2015, maka Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan kembali.

Dalam hal apa permohonan Wajib Pajak dikembalikan?

Permohonan Wajib Pajak dikembalikan apabila tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan (3) PMK-91/PMK.03/2015, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (4) PMK-91/PMK.03/2015 dan/atau ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 PMK-91/PMK.03/2015.

Berapa kali Wajib Pajak dapat memanfaatkan fasilitas penghapusan/pengurangan sanksi administrasi?

Tidak dibatasi. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penghapusan sanksi administrasi atas setiap STP yang diterima yang memenuhi persyaratan dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam PMK-91/PMK.03/2015.

Atas STP yang sama, berapa kali Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penghapusan/pengurangan sanksi administrasi?

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi paling banyak 2 (dua) kali.

Atas pengembalian yang diperoleh, apakah Wajib Pajak berhak meminta imbalan bunga?

Wajib Pajak tidak mendapatkan imbalan bunga. Sesuai Pasal 27A ayat (2) Undang-Undang KUP, imbalan bunga didapat sebagai akibat keberatan, banding dan Peninjauan Kembali. Selain itu, sesuai pasal 11 ayat (2) Undang-Undang KUP, imbalan bunga diberikan karena terlambat menerbitkan SKPKPP.

Jika Wajib Pajak dibolehkan mengajukan permohonan dan sanksi dihapuskan, melalui mekanisme seperti apa atas pajak yang sudah dipotong dikembalikan?

Wajib Pajak mendapatkan pengembalian sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1a) Undang-undang KUP dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.

Kalau SPT dilaporkan dengan e-SPT, apakah semua SPT (induk dan lampirannya) harus dicetak atau cukup induknya saja? Bila memiliki kewajiban laporan keuangannya diaudit, apakah laporan keuangan yang telah diaudit oleh KAP tersebut harus dilampirkan?

Kalau SPT dilaporkan dengan e-SPT, apakah semua SPT (induk dan lampirannya) harus dicetak atau cukup induknya saja? Bila memiliki kewajiban laporan keuangannya diaudit, apakah laporan keuangan yang telah diaudit oleh KAP tersebut harus dilampirkan?

Apakah permohonan dapat diterima oleh KPP apabila permohonan disampaikan oleh bukan Wajib Pajak, meskipun permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak?

Pada prinsipnya, sepanjang ditandatangani oleh Wajib Pajak (untuk Wajib Pajak Orang Pribadi) dan wakil Wajib Pajak (untuk Wajib Pajak Badan) permohonan dapat diterima.

Apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi saat mengajukan permohonan pengurangan/penghapusan sanksi administrasi?

“Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:

1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Surat Tagihan Pajak;
secara tertulis dan menggunakan Bahasa Indonesia;
ditandatangani oleh Wajib Pajak (untuk Wajib Pajak Orang Pribadi), wakil Wajib Pajak (untuk Wajib Pajak Badan) dan tidak dapat dikuasakan. Untuk wakil Wajib Pajak, lihat pasal 32 ayat (1) Undang-Undang KUP;
disampaikan ke KPP dimana Wajib Pajak terdaftar.”

Apakah sanksi administrasi yang timbul karena pemeriksaan dapat diberikan fasilitas pengurangan/penghapusan sanksi administrasi?

Tidak. Fasilitas ini hanya diberikan atas sanksi administrasi karena pelaksanaan self assessment system oleh Wajib Pajak.

Apakah yang harus dilakukan Wajib Pajak untuk mendapatkan fasilitas pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi?

Untuk memperoleh fasilitas pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, Wajib Pajak menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak. Permohonan disampaikan ke KPP dimana Wajib Pajak terdaftar.

Kapan Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penghapusan sanksi administrasi?

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penghapusan sanksi pada tahun 2015 maupun sesudahnya, namun harus melakukan terlebih dahulu pembetulan SPT atau pelunasan kekurangan pajak di tahun 2015.

Adakah batasan atas sanksi yang dapat dimohonkan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi?

Sanksi adminstrasi yang dapat dimohonkan adalah sanksi yang timbul akibat pelaporan, pembetulan, pembayaran SPT Tahunan 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa Desember 2014 dan sebelumnya yang dilakukan di tahun 2015.

Bagaimana cara masyarakat/pembeli mengecek e-Faktur merupakan Faktur Pajak yang valid?

“Masyarakat dapat mengecek kebenaran e-Faktur melalui cara-cara berikut ini:

Cetakan e-Faktur dilengkapi dengan QR code sebagai pengaman e-Faktur.
QR code isinya menampilkan informasi terkait dengan transaksi penyerahan yaitu: nilai DPP dan PPN dan lain-lain.
Informasi dalam QR code dapat dilihat dengan menggunakan aplikasi pembaca QR code (QR code scanner) yang dapat dilakukan melalui smartphone atau gadget lainnya yang mempunyai fitur yang mendukung.
Apabila Informasi yang terdapat dalam QR code tersebut berbeda dengan yang ada dalam cetakan e-Faktur maka Faktur Pajak tersebut tidak valid.”

Bagaimana cara lawan transaksi/pembeli meyakini kebenaran e-Faktur yang diterimanya?

“Untuk lawan transaksi yang merupakan pengguna e-Faktur, kebenaran e-Faktur dapat diketahui ketika proses upload faktur setelah terlebih dahulu melakukan input atas e-Faktur melalui menu Faktur Pajak Masukan.

Untuk lawan transaksi yang bukan merupakan pengguna e-Faktur kebenaran e-Faktur dapat dilakukan dengan cara sebagaimana berikut:

Cetakan e-Faktur dilengkapi dengan QR code sebagai pengaman eFaktur. QR code isinya menampilkan informasi terkait dengan transaksi penyerahan.
Informasi dalam QR code dapat dilihat dengan menggunakan aplikasi pembaca QR code (QR code scanner) yang dapat dilakukan melalui smartphone atau gadget lainnya yang mempunyai fitur yang mendukung.
Apabila Informasi yang terdapat dalam QR code tersebut berbeda dengan yang ada dalam cetakan e-Faktur maka Faktur Pajak tersebut tidak valid.”

Dalam hal PKP pindah KPP, bagaiman dengan sertifikat elektronik?

“Sertifikat elektronik berfungsi sebagai indentias Pengusaha Kena Pajak (PKP) pengguna e-Faktur yang penggunaannya berdasarkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Setiap PKP hanya memiliki 1 sertifikat elektronik kecuali apabila PKP tersebut mempunyai cabang.

Apabila PKP pindah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berarti NPWP PKP tersebut akan berubah (bagian kode KPP) sehingga PKP harus meminta kembali sertifikat elektronik ke KPP yang baru. Sertifikat elktronik dari KPP lama otomatis tidak dapat digunakan.”

Dalam hal pindah KPP, apakah nomor seri Faktur Pajak yang diterima di KPP lama masih bisa digunakan?

“Sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 bahwa untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang pindah Kantor Pelayanan Pajak (KPP), PKP masih dapat menggunakan nomor seri Faktur Pajak yang belum digunakan yang telah diterima dari KPP lama.

Namun demikian, PKP harus mengajukan permohonan kode aktivasi dan password baru ke KPP baru dengan menunjukkan asli pemberitahuan kode aktivasi dari KPP sebelumnya. Untuk pengajuan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak berikutnya, PKP harus menggunakan kode aktivasi dan password baru yang diberikan oleh KPP baru.”

Setelah menggunakan e-Faktur apakaah ke depan dalam proses pemeriksaan masih diminta menyampaikan hardcopy?

Kedepan dalam proses pemeriksaan pajak, tidak diperlukan lagi hardcopy e-Faktur, mengingat data faktur tersebut sudah berada di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Namun demikian terhadap dokumen pendukung transaksi lainnya masih dimungkinkan untuk ditunjukkan dalam proses pemeriksaan.

Bagaimana pengkreditan Pajak Masukan oleh PKP yang belum menggunakan e-Faktur atas transaksi oleh Penjual yang menggunakan e-Faktur?

Pengusaha Kena Pajak (PKP) pembeli yang menerima e-Faktur dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dalam hal menghendaki untuk dicetak, maka softcopy e-Faktur dapat dicetak sesuai dengan kebutuhan.

Bagaimana melakukan filter atas Faktur Pajak yang sudah dilaporkan dalam SPT Masa PPN satu masa tertentu dengan Faktur Pajak yang belum dilaporkan pada pada masa tersebut?

Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat mengetahuinya Faktur Pajak yang sudah dilaporkan atau belum pada satu masa tertentu dari cut off posting SPT Masa PPN.

Faktur-faktur yang tanggal approvalnya diperoleh sebelum tanggal posting merupakan Faktur-faktur yang sudah dilaporkan dalam satu masa tertentu, sedangkan Faktur-faktur yang tanggal approval diperoleh setelah tanggal posting merupakan faktur-faktur yang belum dilaporkan dalam satu masa tertentu.

Apakah pelaporan SPT PPN harus menggunakan aplikasi pembuatan SPT di e-Faktur?

“Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menggunakan aplikasi e-Faktur wajib membuat SPT melalui aplikasi e-Faktur. Melalui aplikasi ST pada aplikasi e-Faktur PKP dapat membuat SPT Masa PPN menggunakan data input Faktur Pajak dan Dokumen Lainnya, melengkapi formulir SPT yang sudah terbentuk da membuat file CSV yang sama dengan bentuk SPT Masa PPN 1111 untuk pelaporan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Kedepannya direncakan PKP pengguna e-Faktur dapat melaporkan SPT Masa PPN langsung upload ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tanpa harus datang ke KPP.”

Bagaimana dengan PEB dan PIB di aplikasi e-Faktur?

Untuk PEB dan PIB dapat diinput dengan aplikasi e-Faktur untuk keperluan administrasi SPT Masa PPN, akan tetapi tidak diperlukan di upload untuk PEB dan PIB.

Penandatangan Faktur. Apakah seluruh admin e-Faktur dilaporkan ke KPP sebagai penandatangan Faktur Pajak?

Seluruh admin yang akan mengupload e-Faktur sehingga namanya tercantum dalam Faktur Pajak wajib didaftarkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebagai Penandatangan Faktur Pajak.

Apakah penandatangan Faktur Pajak boleh orang asing?

Orang asing boleh menandatangani Faktur Pajak dengan ketentuan telah dilaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat terdaftar dengan menyerahkan fotokopi paspor yang sudah dilegalisasi dari kedutaan besar negara yang bersangkutan di Indonesia.

Bagaimana menambah keterangan yang ada di e-Faktur?

Dalam aplikasi e-Faktur terdapat kolom Referensi. Pada kolom referensi ini, Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat mengisi keterangan apa pun, seperti nomor Invoice komersial, keterangan nilai kurs, dan keterangan lainnya. Keterangan yang dicantumkan dalam kolom referensi ini bukan merupakan bagian dari kelengkapan Faktur Pajak.

Apakah kode barang harus diisi, bagaimana jika tidak memiliki kode barang?

Harus diisi untuk memudahkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk membuat Faktur Pajak dengan barang yang sama. Dalam hal PKP tidak memiliki kode barang, maka dapat dikosongkan.

Belum ada satuan barang pada aplikasi e-Faktur?

Satuan barang diserahkan kepada masing-masing Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dalam hal PKP ingin memberikan penjelasan lebih rinci dapat dituliskan pada kolom Referensi Faktur Pajak.

Mengapa PPN uang muka tidak langsung otomatis 10%?

Fitur ini dibuka sesuai dengan permintaan beberapa Pengusaha Kena Pajak (PKP) sewaktu dilakukan piloting, dengan pertimbangan terdapat beberapa PKP yang menggunakan DPP Nilai lain. Sehingga jumlah uang muka tidak secara otomatis dikalikan 10%.

Apakah kurs bisa per item barang?

Karena dalam e-Faktur menggunakan mata uang rupiah, dan pengisian DPP adalah masing-masing barang, sehingga dalam pengisian e-Faktur harus mengkonversi masing-masing barang ke mata uang Rupiah.

Apakah e-Faktur bisa menggunakan kurs/valuta asing?

Dalam pengisian menggunakan e-Faktur harus dengan menggunakan mata uang rupiah. Oleh karena itu, dalam hal transaksi Pengusaha Kena Pajak (PKP) menggunakan mata uang asing harus di konversi menjadi mata uang Rupiah. Untuk menambahkan keterangan nilai dalam mata uang asing dan kurs KMK yang digunakan dalam FP, PKP dapat menambahkan dalam kolom referensi.

Pembuatan e-Faktur untuk penyerahan yang menggunakan DPP Nilai Lain, khususnya untuk jasa tenaga kerja dan freight forwarding?

“Untuk membuat e-Faktur yang menggunakan DPP Nilai lain adalah sebagai berikut:

E-Faktur ini sudah mengakomodasi atas transaksi yang penyerahannya menggunakan Nilai lain.
Kode transaksi yang digunakan adalah 04.
Dalam rekam transaksi, DPP diisi dengan menggunakan Nilai lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Klik “simpan” dan terakhir dilakukan upload.”

Pembuatan dan pelaporan Faktur Pajak bagi PKP deemed?

“Kewajiban pembuatan e-Faktur dikecualikan atas penyerahan BKP dan atau JKP:

yang dilakukan oleh pedagang eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 PP Nomor 1 Tahun 2012;
yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) Toko Retail kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16E UU PPN; dan
yang bukti pungutan PPNnya berupa dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) UU PPN.
Dalam hal PKP deemed tidak memenuhi kriteria di atas, maka wajib membuat e faktur dan untuk pelaporan SPT menngunakan SPT Masa PPN 1111DM”

Input retur sebelum e-Faktur?

“Secara ketentuan:

Nota retur atau Nota pembatalan harus dibuat pada saat BKP dikembalikan atau JKP dibatalkan
Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual BKP atau pemberi JKP, Nota retur atau Nota pembatalan dilaporkan di Masa Pajak saat Nota retur atau Nota pembatalan tersebut diterima
Secara aplikasi:

Bisa diterima dan diupload dengan keterangan dengan status approval “Faktur Pajak bukan e-Tax””

Apakah Nota Retur bisa diprint menggunakan aplikasi e-Faktur?

“Sesuai dengan ketentuan PMK No.65/PMK.03/2010 diatur bahwa:

Nota retur atau Nota pembatalan dibuat oleh pembeli BKP atau penerima JKP
Dalam Nota Retur atau Nota pembatalan harus mencantumkan:
Nomor Nota retur atau Nota pembatalan yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) sendiri
Nomor dan Kode Seri Faktur Pajak yang dikembalikan atau dibatalkan
Dalam aplikasi e-Faktur ini tidak disediakan menu untuk mencetak Nota retur atau Nota pembatalan karena pertimbangan di atas.”

Apabila terjadi kesalahan tulis Kode Faktur, apakah dibuatkan Faktur Pajak pengganti atau dibatalkan?

Salah tulis kode transaksi termasuk dalam kategori salah dalam pengisian, atau salah dalam penulisan. Atas kesalahan dalam penulisan kode transaksi tersebut, maka Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat membuat e-Faktur pengganti melalui aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Apakah e-Faktur boleh ditandatangani secara basah apabila konsumen menghendakinya?

e-Faktur ditandatangani secara elektronik sehingga tidak memerlukan lagi tanda tangan basah. Namun demikian, apabila konsumen masih menginginkan cetakan e-Faktur untuk ditandatangani secara basah maka hal ini dipersilahkan.

Apakah lampiran e-Faktur yang memuat detil penyerahan diperkenankan untuk tidak input di aplikasi tetapi dengan dengan cara dilampirkan pada cetakan e-Faktur seperti yang selama ini dilakukan pada Faktur Pajak kertas?

e-Faktur harus diisi dengan jelas, lengkap, dan benar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga detil data dan informasi (lampiran) terkait dengan penyerahan BKP/JKP harus diinput kedalam e-Faktur. Oleh sebab itu, lampiran (detil) mengenai penyerahan BKP/JKP tidak diperkenankan dalam bentuk lampiran (merujuk pada lampiran tertentu).

Apakah faktur komersial dapat merangkap/berfungsi juga sebagai e-Faktur sebagaimana yang selama ini dilakukan pada Faktur Pajak kertas?

“Dalam rezim Faktur Pajak kertas, bentuk/tampilan/format Faktur Pajak tidak ditentukan sehingga faktur komersial dapat difungsikan sebagai Faktur Pajak sepanjang informasi yang termuat memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN.

Namun dalam e-Faktur, bentuk, tampilan, dan format cetakan e-Faktur ditentukan sesuai dengan output dari aplikasi e-Faktur sehingga faktur komersial yang merupakan output dari system di luar e-Faktur tidak dapat difungsikan/merangkap sebagai Faktur Pajak.”

Apakah aplikasi e-Faktur mempunyai fitur yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan pengolahan data Faktur Pajak yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan terkait data Faktur Pajak yang dihasilkan oleh e-Faktur?

Aplikasi e-Faktur dilengkapi dengan fitur Filter Data (F4) untuk mencari dan menampilkan data sesuai dengan kebutuhan. Melalui fitur Filter Data (F4) ini user dapat melakukan berbagai kombinasi untuk menampilkan data yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan pengolahan data sesuai dengan kebutuhan.

Bagaimana pengisian di e-Faktur terkait uang muka yang belum diketahui jumlah dan harga barang yang akan diserahkan?

“Uang muka yang belum diketahui jumlah dan harganya, maka pengisian di e-Faktur dapat dilakukan sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan PPN diisi sesuai dengan jumlah uang muka yang diterima;
Nama dan jenis barang dapat diisi dengan rencana barang/jasa yang akan diserahkan.”

Apakah diskon dapat diberikan atas keseluruhan Faktur, tidak per item barang. Bagaimana teknisnya?

Dalam aplikasi e-Faktur, diskon hanya dapat diberikan atas per item barang.

Apakah harga satuan, DPP, PPN pada e-Faktur dapat bernilai 0 (nol)?

Pada aplikasi e-Faktur, Harga Satuan, Dasar Pengenaan Pajak (DPP), dan PPN dapat bernilai 0 (nol). Namun demikian, Pengusaha Kena Pajak (PKP) perlu memastikan pertimbangan pencantuman nilai 0 tersebut dalam Faktur Pajak. Sebagai contoh, dalam transaksi Pemberian Cuma-Cuma meskipun tidak terjadi pembayaran, DPP PPN adalah sebesar Harga Pokok Penjualan dan PPN-nya adalah 10% x DPP.

Apakah aplikasi e-Faktur sudah mengakomodasi pengkreditan masa pajak yang tidak sama pada pembuatan SPT PPN?

“Bahwa aplikasi e-Faktur merupakan aplikasi untuk membuat Faktur Pajak sekaligus untuk membuat SPT Masa PPN. Pada fitur pembuatan SPT PPN, aplikasi e-Faktur telah mengakomodasi
pengkreditan Faktur Pajak Masukan dalam Masa yang tidak sama, yaitu paling lama 3 (tiga) bulan setelah masa pajak yang bersangkutan.”

Bagaimana cara pembuatan e-Faktur jika pembelinya tidak ber NPWP?

Dalam hal pembeli tidak ber-NPWP, maka pengisian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Pembeli dalam aplikasi e-Faktur diisi dengan angka 00.000.000.0-000.000

Apakah tanggal SSP PPN Jasa Luar negeri harus sama dengan masa pelaporan?

“Berdasarkan PMK 40/PMK.03/2010, diatur bahwa:

PPN terutang atas pemanfaatan JKP/BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean wajib disetor paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak;
Surat Setoran Pajak (SSP) atas penyetoran PPN tersebut dilaporkan di Masa Pajak saat terutangnya pajak.
Dengan demikian, saat penyetoran SSP Jasa Luar negeri dapat berbeda dengan masa pelaporan.”

Jika data e-Faktur hilang, apa yang harus dilakukan oleh PKP?

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak (PKP) mengalami kendala teknis yang menyebabkan data e-Faktur rusak atau hilang, PKP dapat mengajukan permintaan data e-Faktur terbatas pada data e-Faktur yang telah diunggah (upload) ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP dikukuhkan.

Dalam keadaan tertentu, apakah PKP diperkenankan meminta database e-Faktur yang telah dibuat ke DJP?

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak (PKP) mengalami kendala teknis yang menyebabkan data e-Faktur rusak atau hilang, PKP dapat mengajukan permintaan data e-Faktur terbatas pada data e-Faktur yang telah diunggah (upload) ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP dikukuhkan.

Bagaimana jika data e-Faktur yang dimiliki PKP berbeda dengan data yang ada di DJP?

“Data/keterangan pada e-Faktur yang telah diberikan persetujuan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah sama dengan data yang dimiliki oleh DJP. Untuk itu, agar dipastikan keterangan fisik yang ada di cetakan e-Faktur sama dengan QR Code yang ada pada e-Faktur.

Tips untuk pembeli/penerima eFaktur, silahkan untuk discan QR Code menggunakan smartphone yang compatible.”

Apakah ada batas waktu melakukan pelaporan/upload eFaktur?

“Sesuai dengan PER-16/PJ/2014, batas waktu pelaporan/upload e-Faktur ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak diatur. Namun demikian sesuai dengan proses bisnis perusahaan yang lazim, Pembeli akan meminta Faktur Pajak sesegera mungkin.

Untuk menghindari adanya transaksi/penyerahan BKP/JKP yang lupa tidak dilaporkan/upload ke DJP yang dapat mengakibatkan dikenakannya sanksi perpajakan yang berlaku, diminta untuk sesegera mungkin melakukan pelaporan/upload e-Faktur tersebut.

Dalam proses approval, apa saja yang dicek oleh DJP?

“Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan pengecekan, meliputi:

NPWP (apakah NPWP penerbit Faktur atau NPWP lawan transaksi penerbit Faktur valid)
Status PKP (Apakah Penerbit Faktur merupakan PKP pada saat tanggal Faktur Pajak diterbitkan dan Apakah PKP yang menerbitkan Faktur merupakan PKP yang wajib menerbitkan e-Faktur)
Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP, Apakah Nomor Seri yang tertera di Faktur Pajak benar merupakan jatah nomor seri penerbit Faktur Pajak dan Apakah tanggal Faktur Pajak tidak kurang dari/sebelum tanggal Pemberitahuan NSFP dari DJP)”

Pada pembuatan Faktur Pajak elektronik ada mekanisme pelaporan ke DJP/upload ke sistem DJP untuk memperoleh persetujuan/ approval. Apa saja yang harus dimintakan approval pada aplikasi e-Faktur?

“Pada prinsipnya yang perlu dimintakan approval Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah atas:

Faktur Pajak Keluaran; dan
Faktur Pajak Masukan
Faktur Pajak Pengganti,
Pembatalan Faktur Pajak Keluaran,
Perekaman Retur Pajak Keluaran
Pembatalan Faktur Pajak,
Pembuatan Retur Pajak Masukan”

Apabila jumlah halaman e-Faktur lebih dari satu, apakah di setiap halaman ada QR Code-nya?

Tidak, QR Code hanya muncul pada halaman terakhir setelah tempat dan tanggal Faktur Pajak serta Nama yang berhak menandatangani Faktur Pajak. QR Code berisi data Faktur yang telah memperoleh persetujuan dari DJP yakni nomor Faktur, Alamat dan NPWP Penjual dan Pembeli, harga satuan, jumlah barang, harga total, DPP, PPN dan PPnBM.

Terdapat beberapa ketentuan pembuatan Faktur Pajak harus menggunakan stempel. Apakah hal tersebut sudah tersedia di aplikasi e-Faktur?

“Ya, aplikasi e-Faktur sudah menyediakan fitur untuk transaksi tertentu yang memerlukan stempel pada faktur pajak. Pengusaha Kena Pajak (PKP) tinggal memilih kode transaksi yang sesuai dengan ketentuan.

Contoh:
Pada saat PKP menginput data transaksi pada aplikasi e-Faktur atas penyerahan dengan kode transaksi 07 atau 08 (penyerahan yang PPNnya mendapat fasilitas tidak dipungut atau PPN-nya dibebaskan), maka pada e-Faktur tersebut akan muncul stempel otomatis “PPN DIBEBASKAN SESUAI PP Nomor…” atau “PPN dan PPnBM TIDAK DIPUNGUT”. (format stempel telah mengikuti ketentuan yang berlaku)”

Apakah 1 (satu) aplikasi e-Faktur dapat digunakan untuk beberapa PKP?

Bahwa 1 (satu) Sertifikat Elektronik diberikan untuk 1 (satu) PKP dan 1 (satu) Sertifikat Elektronik digunakan untuk 1 (satu) aplikasi e-Faktur sehingga 1 (satu) aplikasi e-Faktur tidak dapat digunakan untuk beberapa PKP.

Bagaimana pembuatan e-Faktur oleh Cabang yang telah dilakukan Pemusatan tempat terutang PPN?

“Pada prinsipnya, Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan pemusatan tempat terutang PPN, pembuatan faktur pajak dilakukan oleh tempat yang ditunjuk sebagai tempat pemusatan PPN tersebut. Namun dalam hal tempat lain yang tidak menjadi tempat pemusatan tersebut membuat faktur pajak, maka harus mengikuti hal-hal sebagai berikut:

Identitas pembuat faktur adalah identitas tempat pemusatan PPN.
Penandatangan faktur tersebut adalah pejabat/ pegawai yang ditunjuk yang telah diberitahukan oleh PKP tempat pemusatan termasuk dalam hal ini pengurus/pimpinan cabang.
Untuk menggunakan aplikasi e-Faktur dapat melalui 2 (dua) cara yaitu:

Untuk PKP yang sudah Pemusatan, pengadministrasian Faktur Pajak dilakukan oleh Pusat. Namun demikian, pembuatan e-Faktur dapat dilakukan oleh cabang yang mengikuti pemusatan apabila cabang yang mengikuti pemusatan tersebut telah memiliki sertifikat elektronik dan nama yang tercantum dalam e-Faktur adalah pejabat/pegawai yang berhak menandatangani Faktur Pajak yang telah dilaporkan oleh PKP Pusat kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
Atau PKP cabang tersebut membuat e-Faktur dengan menggunakan aplikasi e-Faktur dengan menggunakan network database yang terhubung kepada komputer/aplikasi e-Faktur PKP Pusat yang berfungsi sebagai server. Dalam hal ini, PKP Cabang tidak memerlukan sertifikat elektronik.”

Faktur Pajak Gabungan apakah masih diperkenankan di e-Faktur?

Ya, Faktur Pajak Gabungan masih diperkenankan dengan menggunakan aplikasi e-Faktur. Yang perlu diperhatikan adalah Faktur Pajak Gabungan digunakan untuk penyerahan kepada pembeli yang sama dalam satu bulan.

Apakah e-Faktur masih perlu dibuat rangkap 2 (dua)?

e-Faktur tidak perlu dibuat rangkap 2 (dua) karena e-Faktur berbentuk elektronik, sehingga tidak diwajibkan untuk dicetak dalam bentuk kertas. Namun demikian dalam hal diperlukan cetakan kertas baik oleh pihak penjual dan/atau pihak pembeli, e-Faktur dapat dicetak sesuai dengan kebutuhan.

Apakah e-Faktur boleh dicetak di kertas perusahaan yang telah ada logonya?

Ya. e-Faktur berbentuk elektronik dalam format file PDF namun dalam hal Pengusaha Kena Pajak (PKP) membutuhkan e-Faktur untuk dicetak maka file e-Faktur berbentuk PDF tersebut dapat dicetak menggunakan kertas perusahaan yang telah ada logonya dan e-Faktur yang dicetak di atas kertas tersebut tetap berfungsi sebagai Faktur Pajak.

Apakah e-Faktur harus dicetak dan ditandatangani?

“e-Faktur berbentuk elektronik, sehingga tidak diwajibkan untuk dicetak dalam bentuk kertas, namun demikian dalam hal diperlukan cetakan kertas baik oleh pihak penjual dan/atau pihak pembeli, e-Faktur dapat dicetak sesuai dengan kebutuhan.

e-Faktur ditandatangani secara elektronik, sehingga tidak disyaratkan lagi untuk ditandatangani secara basah oleh pejabat/pegawai yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).”

Apa yang dimaksud dengan Akun PKP dan apa fungsinya?

“Akun Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah wadah layanan secara elektronik yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mempermudah pemberian layanan secara elektronik dalam hal ini adalah pemberian Sertifikat Elektronik dan pemberian Nomor seri Faktur Pajak melalui website.

Fungsinya untuk mempermudah pelayanan kepada PKP sekaligus memberikan keamanan. Setiap PKP yang memenuhi syarat akan dibuatkan Akun PKP oleh DJP. Untuk dapat menggunakan Akun PKP, PKP harus mengaktifkan Akun tersebut.”

Apa yang perlu dipersiapkan untuk membuat e-Faktur?

“Untuk membuat e-Faktur, Pengusaha Kena Pajak harus melakukan langkah-langkah berikut ini:

Telah memiliki Sertifikat Elektronik
Menyiapkan komputer, rekomendasi kebutuhan untuk dapat menjalankan aplikasi e-Faktur Pajak adalah perangkat keras berupa: Processor Dual Core. 3 GB RAM, 50 GB Harddisk space, VGA dengan minimal resolusi layar 1024×768, Mouse, dan Keyboard dan Perangkat Lunak berupa Sistem Operasi : Linux / Mac OS / Microsoft Windows, Java versi 1.7, dan Adobe Reader
Terhubung dengan jaringan internet baik direct connection ataupun proxy
Menyiapkan password permintaan Nomor seri Faktur Pajak (e-NOFA)
Menyiapkan username penandatangan Faktur Pajak
Menyiapkan nomor seri faktur pajak yang telah didapatkan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau dari website Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
Menyiapkan data transaksi faktur pajak atau menyiapkan data impor sesuai manual user aplikasi.”

Dimana dan bagaimana cara memperoleh aplikasi e-Faktur?

Dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Pengusaha Kena Pajak (PKP) dikukuhkan atau dapat mendownload pada laman:

e-Faktur Windows 32 bit, aplikasi bisa di download di http://svc.efaktur.pajak.go.id/installer/EFaktur_Windows_32bit.zip
e-Faktur Windows 64 bit, aplikasi bisa di download di http://svc.efaktur.pajak.go.id/installer/EFaktur_Windows_64bit.zip
e-Faktur Linux 32 bit, aplikasi bisa di download di http://svc.efaktur.pajak.go.id/installer/EFaktur_Lin32.zip
e-Faktur Linux 64 bit, aplikasi bisa di download di http://svc.efaktur.pajak.go.id/installer/EFaktur_Lin64.zip
e-Faktur Macinthos 64 bit, aplikasi bisa di download di http://svc.efaktur.pajak.go.id/installer/EFaktur_Mac64.zip

Kapan saya harus menggunakan aplikasi e-Faktur dalam menerbitkan Faktur Pajak?

“Penerbitan Faktur Pajak dengan menggunakan aplikasi e-Faktur ditetapkan sesuai PER-16/PJ/2014 dan KEP-136/PJ/2014 dimana tahapan penggunaan aplikasi e-Faktur dibagi sebagai berikut:

Per 1 Juli 2014 untuk PKP tertentu.
Per 1 Juli 2015 untuk PKP Jawa dan Bali.
Per 1 Juli 2016 untuk PKP Nasional.”

Apa keuntungan menggunakan e-Faktur sebagai Penjual dan Pembeli?

“Bagi penjual:
Dapat menikmati kemudahan antara lain: tanda tangan basah digantikan dengan tanda tangan elektronik, e-Faktur tidak harus dicetak sehingga mengurangi biaya kertas, biaya cetak, dan biaya penyimpanan, aplikasi e-Faktur sekaligus pembuatan SPT Masa PPN dan memperoleh kemudahan dapat meminta nomor seri Faktur Pajak melalui website Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sehingga tidak perlu lagi datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Bagi pembeli:
Terlindungi dari penyalahgunaan Faktur Pajak yang tidak sah, karena e-Faktur dilengkapi dengan pengaman berupa QR code yang dapat diverifikasi dengan smartphone/HP tertentu yang beredar di pasar. Sehingga PKP pembeli memperoleh kepastian bahwa PPN yang disetor oleh pembeli datanya telah dilaporkan ke DJP oleh pihak penjual.”

Apa dasar hukum pembuatan e-Faktur?

“Dasar hukum pembuatan e-Faktur sebagai berikut:

UU Nomor 42 TAHUN 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 TAHUN 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM.
PMK-151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak.
PER-17/PJ/2014 tentang Perubahan Kedua atas PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur Pemberitahuan dalam rangka Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Pembetulan atau Penggantian, dan Pembatalan Faktur Pajak.
PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak berbentuk Elektronik.”

Apa pengertian Badan menurut ketentuan perpajakan?

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk hukum lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap (Pasal 1 angka 3 UU KUP)

Apa itu E-Filling?

E-Filing adalah suatu cara penyampaian SPT Tahunan PPh secara elektronik yang dilakukan secara online dan real time melalui internet. Anda bisa mengakses pada website ayo!pajak untuk layanan E-Filling.

Manfaat E-Filling?

“Manfaat E-filling bagi wajib pajak kerap kali belum banyak dipahami oleh masyarakat awam. Dengan hadirnya sistem lapor SPT online sebenarnya memberikan beragam manfaat bagi wajib pajak dan proses penyampaian SPT itu sendiri, yaitu:

Mempermudah proses perekaman data SPT di dalam basis data DJP. Jika sebelumnya perekaman data dilakukan secara manual dan menghabiskan waktu yang cukup banyak, kini dengan sistem lapor pajak online tentu menghemat lebih banyak waktu.
Mengurangi pertemuan langsung wajib pajak dengan petugas pajak. Wajib pajak sudah tidak harus selalu datang ke KPP, apalagi terkena macet hanya untuk melaporkan pajak mereka.
Mengurangi dampak antrean dan volume pekerjaan proses penerimaan SPT. Adanya lapor SPT online bertujuan agar mengurangi jumlah wajib pajak yang datang ke KPP sehingga tidak ada lagi antrean panjang.
Mengurangi volume berkas fisik/kertas dokumen perpajakan. Pemanfaatan sistem online tentu akan mengurangi pengurangan penggunaan kertas atau dokumen.”

Bagaimana cara mendapatkan EFIN?

“Cara mendapatkan EFIN :
Unduh formulir permohonan aktivasi EFIN dan mendatangi KPP terdekat dan ajukan langsung formulir EFIN ke KPP tanpa diwakilkan sambil melampirkan syarat berupa dokumen asli dan dokumen foto kopi di bawah ini:

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
o KTP Asli dan foto kopi (untuk WNI)
o Paspor dan KITAS/KITAP (untuk WNA)
o NPWP/Surat Keterangan Terdaftar
o Email aktif
Bagi Wajib Pajak Badan
o Surat penunjukkan pengurus yang bersangkutan
o KTP pengurus (untuk WNI)
o Paspor dan KITAS/KITAP pengurus (untuk WNA)
o NPWP/Surat Keterangan Terdaftar pengurus
o NPWP/Surat Keterangan Terdaftar WP badan
o Email aktif
Bagi Wajib Pajak Badan Kantor Cabang
o Surat pengangkatan pimpinan kantor cabang
o Surat penunjukan pimpinan kantor cabang sebagai pengurus yang bersangkutan
o KTP pengurus (untuk WNI)
o Paspor dan KITAS/KITAP pengurus (untuk WNA)
o NPWP/Surat Keterangan Terdaftar pengurus yang bersangkutan
o NPWP/Surat Keterangan Terdaftar kantor cabang
o Email aktif”

Apa itu E-Billing?

E-billing adalah metode pembayaran pajak secara elektronik menggunakan kode billing, pada E-billing terdapat kode billing yang merupakan deretan kode unik yang diperoleh dari E-Billing dan digunakan sebagai kode pembayaran pajak.

Tujuan E-Billing?

Tujuan E-billing adalah untuk membantu wajib pajak untuk membuat surat setoran elektronik dan mendapatkan kode billing untuk membayar pajak.

Apa Itu Sertifikat Elektronik?

“Pada dasarnya, Sertifikat Elektronik atau disingkat Sertel bukanlah sesuatu yang bersifat khusus lagi, melainkan sudah menjadi hal yang umum bagi seluruh wajib pajak. Lantaran seluruh wajib pajak, baik yang telah dikukuhkan sebagai PKP ataupun non-PKP membutuhkan sertel dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Merujuk pada Pasal 1 Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-04/PJ/2017 disebutkan bahwasanya sertifikat elektronik atau sertel merupakan surat yang bersifat elektronik, yang mana dalam sertifikat tersebut terdapat tanda tangan elektronik dari penyelenggara sertel tersebut atau DJP.

Dalam hal ini, tanda tangan yang terdapat dalam sertel merupakan informasi yang telah terlekat ataupun terasosiasi sebagai informasi elektronik yang diperuntukkan sebagai alat verifikasi maupun otentifikasi atau dengan kata lain, sertel ini merupakan otentikasi identitas dari pengguna layanan perpajakan secara elektronik dimana dalam sertifikat tersebut meliputi tanda tangan dan identitas wajib pajak.

Dalam hal ini, terdapat persyaratan yang perlu dipenuhi setiap wajib pajak untuk mendapatkan sertifikat elektronik (sertel). Terkait syarat tersebut juga telah tertuang dalam Pasal 42 ayat (2) huruf d, yang mana syarat tersebut berisi:

Memberikan dan Menyerahkan dokumen yang asli dan fotokopi, seperti:

Bagi WNI : KTP bagi WNI

Bagi WNA : Paspor serta Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP)

Nomor Pengguna Wajib Pajak atau SKT (surat Keterangan Terdaftar.

Menunjukkan surat penunjukan dari wajib pajak orang pribadi apabila diwakilkan.

Selain ada persyaratan yang perlu dipenuhi dalam mendapatkan sertel, para wajib pajak juga perlu mencermati bahwa sertifikat elektronik (sertel) memiliki masa aktif atau masa berlaku. Berikut penjelasannya mengenai masa aktif atau masa berlaku sertel:

Setiap wajib pajak akan mendapatkan masa berlaku sertifikat elektronik pajak selama 2 (dua) tahun. Apabila sudah terlewat, maka setiap wajib pajak harus memperpanjangnya lagi dan masa berlaku sertel pajak akan dihitung berdasarkan tanggal dari sertel pajak yang diterbitkan/diberikan oleh pihak DJP.

Apabila sertel pajak tidak dilakukan perpanjang, maka otentifikasi sertifikat elektronik pada aplikasi e-Faktur sudah tidak dapat berjalan dan wajib pajak otomatis tidak bisa melakukan upload faktur pajaknya.”

Apa Itu Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP)?

“Merujuk pada SE Dirjen Pajak No. SE-08/PJ/2020, Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) adalah nomor seri yang diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP) kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan mekanisme tertentu untuk penomoran Faktur Pajak yang berupa kumpulan angka, huruf, atau kombinasi angka dan huruf yang ditentukan oleh DJP.

Perlu diketahui, ada masa berlaku NSFP pada sertifikat elektronik. Sehingga, PKP wajib mengembalikan NSFP yang tidak digunakan pada akhir Tahun Pajak dan harus mengajukan kembali NSFP baru untuk Tahun Pajak berikutnya.”

Bagaimana Ketentuan Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) Dalam Faktur Pajak?

“Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) sebenarnya terdiri dari 13 digit. Namun, dalam Faktur Pajak NSFP ini selalu didahului dengan 2 digit kode transaksi dan 1 digit kode status. Dengan demikian, format Kode dan NSFP secara keseluruhan dalam Faktur Pajak menjadi 16 digit.

Adapun, format dari kode transaksi sudah ditetapkan dan terdiri dari kode 01 hingga 09. Sementara terdapat dua jenis kode status, yakni 0 untuk kode status Faktur Pajak Normal dan 1 untuk status Faktur Pajak Pengganti.

Setelah kode transaksi dan kode status, 13 digit NSFP adalah digit yang menjelaskan tentang:
3 digit pertama, yaitu Kode Tertentu
2 digit kedua, yaitu Tahun Penerbitan
8 digit berikutnya, yaitu Nomor Urut.

Contoh penulisannya seperti 010.900-13.00000001. Artinya, Kode dan NSFP tersebut termasuk penyerahan PPN yang dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP, Faktur Pajak Normal, serta dengan NSFP 900-13.00000001. NSFP ini sesuai dengan nomor seri yang diberikan oleh DJP.”

Bagaimana Cara Memperoleh Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP)?

“Mengacu pada SE Dirjen Pajak No. SE-08/PJ/2020, Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) bisa diperoleh dengan cara berikut:

PKP mengajukan permintaan secara online

PKP mengajukan permintaan secara langsung kepada Kepala KPP tempat PKP dikukuhkan, atau melalui Kepala KP2KP dengan cara menyampaikan Surat Permintaan NSFP.

Adapun, permintaan NSFP secara online dilakukan melalui website yang ditentukan oleh DJP. Website tersebut dapat diakses melalui situs efaktur.pajak.go.id. Webstite inilah yang biasa disebut sebagai situs e-Nofa.

NSFP melalui website tersebut hanya diberikan kepada PKP yang sudah memiliki sertifikat elektronik, memiliki kode aktivasi dan password, mengaktivasi akun PKP, serta melaporkan (SPT) Masa PPN untuk tiga masa pajak terakhir yang telah jatuh tempo secara berturut-turut pada tanggal PKP mengajukan permintaan NSFP.C129″

Berapa Jumlah Maksimal Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) yang Bisa Diminta Oleh PKP?

“Jumlah Nomor seri Faktur Pajak (NSFP) yang bisa diminta oleh PKP sudah diatur oleh DJP. Menurut Lampiran SE Dirjen Pajak No. SE-08/PJ/2020, jumlah NSFP yang diberikan kepada PKP baru yang belum pernah menerbitkan Faktur Pajak dan belum melaporkannya dalam SPT Masa PPN adalah maksimal 75 NSFP.

Sementara, untuk PKP yang sebelumnya sudah menerbitkan Faktur Pajak dan sudah melaporkannya dalam SPT Masa PPN, jumlah NSFP dapat diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

Apabila jumlah Faktur Pajak selama tiga masa pajak sebelumnya sama dengan atau kurang dari 75 faktur maka jumlah NSFP yang diberikan adalah sama dengan jumlah yang diminta PKP, tetapi maksimal 75 NSFP

Apabila jumlah faktur pajak selama tiga masa pajak sebelumnya lebih dari 75 faktur maka jumlah NSFP yang diberikan sesuai dengan jumlah yang diminta PKP, tetapi maksimal 120% dari jumlah Faktur Pajak yang diterbitkan dalam tiga masa pajak sebelumnya dan telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN.”

Apa Itu Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN)?

“Merujuk pada Pasal 1 angka 21 PMK 18/2021, Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) merupakan nomor unik tanda bukti pembayaran atau penyetoran ke kas negara yang diterbitkan melalui Modul Penerimaan Negara atau sistem penerimaan negara yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.

NTPN akan tertera pada Surat Setoran Pajak (SSP) yang didapatkan setelah membayar pajak dan berupa kombinasi unik angka dan huruf dengan total 16 digit.”

Apa Fungsi Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN)?

“Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) memiliki fungsi sebagai konfirmasi pada sarana administrasi perpajakan, seperti Surat Setoran Pajak (SSP), Bukti Penerimaan Negara (BPN), Surat Setoran Elektronik, atau berkas lain yang memiliki kedudukan setara dan dianggap sah oleh petugas.

Selain itu, NTPN menjadi salah satu syarat yang harus ada pada setiap pelaporan pajak, maka dari itu pastikan kembali bahwa NTPN yang tercantum dalam SSP sudah benar.”

Apa Saja Kendala Terkait Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN)?

Biasanya, NTPN yang dicetak mempunyai beberapa kekurangan atau kendala, yaitu kurang jelasnya hasil cetakan sehingga menyebabkan kode tersebut menjadi sulit terbaca. Kendala lain, seperti kertas atau tinta yang digunakan berkualitas buruk sehingga cetakan menjadi cepat pudar dan tidak terbaca dengan jelas.

Apa Itu Bukti Potong?

“Bukti Potong atau yang disingkat bupot merupakan sebuah dokumen lain atau formulir yang diperuntukkan sebagai bukti pemotongan oleh pemotong pajak. Bukti potong tersebut dibuat atas pemungutan yang terjadi dalam pasal PPh 21, PPh pasal 22, PPh pasal 23/26, PPh pasal 15, hingga PPh pasal 4 ayat 2. Masing-masing dari pemotongan tersebut akan memiliki formulir berbeda-beda sesuai dengan pemotongan atas pasal berapa.

Secara umum, bukti potong (bupot) berfungsi sebagai dokumen resmi guna mengawasi pajak yang telah dipungut dan disetorkan oleh pengusaha kena pajak (PKP) ke kas negara. Tidak adanya bukti potong, tentunya membuat PKP tidak bisa melaporkan SPT Tahunan atas Pajak Penghasilan (PPh). Sehingga, dapat disimpulkan bahwasanya bukti potong ini merupakan aspek vital dalam pelaporan pajak. Secara spesifik, bukti potong memiliki dua fungsi yang dapat dilihat dari dua sisi sebagai berikut:

Bukti Potong Dari Sisi Penerima Bupot

Bukti potong bagi penerima adalah formulir atau dokumen lain yang berfungsi sebagai bukti bahwa PPhnya telah dipotong oleh pengusaha kena pajak.

Bukti Potong Dari Sisi Pembuat Bupot

Bukti potong dari pemotong adalah formulir atau dokumen lain yang berfungsi sebagai bukti bahwa pihaknya sebagai pengusaha kena pajak telah memungut dan menyetorkan pajaknya ke kas negara.

Selain fungsinya, adapula beberapa jenis bukti potong yang perlu diketahui oleh setiap wajib pajak, di antaranya:

Bupot PPh Pasal 21: Pemotongan ini dilakukan pemberi kerja kepada karyawan maupun non karyawan

Bupot PPh Pasal 22: Bukti pemotongan pajak penghasilan ini dipungut oleh bendahara pemerintah pusat dan daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga negara lainnya terkait pembayaran atas penyerahan barang

Bupot PPh Pasal 23/26: pemotongan pajak in dipotong oleh pemungut pajak dari wajib pajak atas penghasilan yang diperoleh dari modal (deviden, bunga, royalti, dan lainnya), penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang dipotong PPh Pasal 21

Bupot PPh Pasal 15: Ini adalah bukti pemotongan dari pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak tertentu. Misalnya seperti perusahaan penerbangan atau pelayaran internasional, perusahaan dalam negeri, perusahaan luar negeri, perusahaan pengeboran migas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk Build – Operate – Transfer (BOT)

Bupot PPh Pasal 4 ayat (2): Bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atau dikenal juga dengan PPh Final merupakan bukti pemotongan pajak penghasilan atas jenis penghasilan tertentu yang sifatnya final dan tidak dapat dikreditkan dengan PPh terutang.”

Apa Itu Bukti Potong (Bupot) Unifikasi?

“Secara umum, bukti potong unifikasi merupakan sebuah dokumen dengan format standar atau dokumen lain yang dipersamakan ataupun yang dibuat oleh pemotong dan/atau pemungut PPh sebagai bukti atas potongan atau pungutan PPh, serta menunjukkan besarnya PPh yang telah dipotong/dipungut, yang mana definisi tersebut tertuang dalam Pasal 1 angka 8 PER-23/PJ/2020.

Sebagaimana yang didefinisikan dalam peraturan tersebut, pemotong atau pemungut PPh tersebut merupakan pemotong atau pemungut PPh yang memang sudah memiliki kewajiban dalam membuat bukti potong/pungut unifikasi dan SPT masa PPh Unifikasi.

Merujuk pada Pasal 1 angka 4 PER-23/PJ/2020, pemotong/pemungut PPh yang telah memiliki kewajiban merupakan wajib pajak selain instansi pemerintah yang berdasarkan ketentuan dari peraturan perpajakan yang mewajibkan untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh serta telah ditetapkan oleh pihak DJP.

Terkait hal tersebut, adapun pemotong/pemungut PPh yang membuat bukti potong unifikasi dalam 2 bentuk, di antaranya ialah formulir kertas ataupun dokumen berbentuk elektronik yang dibuat dan disampaikan melalui aplikasi yang disediakan DJP, e-bupot unifikasi. Secara lebih terperinci, berikut penjelasannya mengenai kedua jenis dokumen tersebut:

Bukti pemotongan/pemungutan unifikasi dengan format standar, yaitu bukti pemotongan/pemungutan unifikasi yang berbentuk formulir kertas atau dokumen elektronik dalam format standar sebagaimana diatur dalam PER-23/PJ/2020. Bukti pemotongan/pemungutan unifikasi berformat standar ini dapat disusun berdasarkan contoh format sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran huruf A PER-23/PJ/2020. Selain itu, Lampiran huruf B PER-23/PJ/2020 juga telah menjabarkan tata cara pembuatannya

Dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemotongan/pemungutan unifikasi, yaitu dokumen berupa formulir kertas ataupun dokumen elektronik yang memuat data atau informasi pemotongan atau pemungutan PPh tertentu dan kedudukannya dipersamakan dengan bukti pemotongan/pemungutan unifikasi berformat standar.

Sebagai tambahan, berdasarkan Pasal 11 PER-23/PJ/2020 bukti pemotongan/pemungutan unifikasi yang telah berhasil terlapor dalam SPT Masa PPh Unifikasi dapat dilakukan pembetulan apabila terdapat kekeliruan, kesalahan transaksi retur, hingga pembatalan jika ada transaksi yang dibatalkan. Ketentuan lebih lanjut terkait dengan bukti pemotongan/pemungutan unifikasi dapat dilihat dan dicermati dalam PER-23/PJ/2020.”

Apa yang Dimaksud Rekonsiliasi Fiskal?

“Rekonsiliasi fiskal adalah suatu cara untuk mencocokkan perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan komersial yang disusun berdasarkan sistem keuangan akuntansi dengan laporan keuangan yang disusun berdasarkan sistem fiskal.

Laporan keuangan komersial berfungsi untuk menilai keadaan finansial di sektor swasta dan kinerja ekonomi pada umumnya. Sementara itu, laporan keuangan fiskal berfungsi dalam menghitung pajak.”

Apa Tujuan Dilakukannya Rekonsiliasi Fiskal?

“Berikut ini tujuan dilakukannya rekonsiliasi fiskal:

Sebagai alat untuk memenuhi rancangan laporan keuangan. Agar rancangan laporan sesuai dengan aturan yang berlaku, maka perusahaan harus melakukan rekonsiliasi fiskal untuk dapat memastikan tidak adanya ketidaksesuaian pada laporan yang dibuat.

Untuk mengurangi kesalahan perhitungan pajak. Kesalahan dalam perhitungan pajak bisa merugikan perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus teliti dalam rekonsiliasi fiskal dengan informasi transaksi serta penghasilan yang sesuai.”

Apa Saja Jenis Rekonsiliasi Fiskal?

“Terdapat 2 (dua) jenis rekonsiliasi fiskal berdasarkan perbedaannya secara komersial dan fiskal, yaitu:

Beda Tetap

Rekonsiliasi fiskal beda tetap adalah jenis rekonsiliasi fiskal yang terjadi, karena adanya transaksi yang telah diakui oleh Wajib Pajak sebagai penghasilan atau biaya sesuai standar akuntansi keuangan. Rekonsiliasi jenis ini merupakan perbedaan antara laba kena pajak dengan laba akuntansi sebelum kena pajak yang muncul karena transaksi akan terhapus otomatis di periode lain menurut UU perpajakan.

Beda Waktu

Rekonsiliasi fiskal beda waktu adalah jenis rekonsiliasi fiskal yang terjadi, karena adanya perbedaan waktu dari sistem akuntansi dengan sistem perpajakan. Jadi dalam hal ini, transaksi menurut akuntansi komersial dan pajak sama, yang membedakan hanya waktu alokasi biaya.”

Apa Itu Koreksi Negatif Pada Rekonsiliasi Fiskal?

“Tujuan koreksi fiskal negatif adalah untuk mengurangi laba komersial atau laba Penghasilan Kena Pajak. Hal ini disebabkan, oleh pendapatan komersial lebih tinggi dibanding pendapatan fiskal, dan biaya-biaya komersial lebih kecil dibanding biaya-biaya fiskal. Koreksi negatif biasanya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

Adanya penyusutan/amortisasi selisih komersial di bawah penyusutan/amortisasi fiskal

Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, namun termasuk dalam peredaran usaha

Penyusutan fiskal negatif lain.”

Apa Itu Koreksi Negatif Pada Rekonsiliasi Fiskal?

“Tujuan dari koreksi fiskal positif adalah untuk menambah laba komersial atau laba Penghasilan Kena Pajak. Penyesuaian ini akan menambahkan pendapatan dan mengurangi biaya-biaya yang sekiranya harus diakui secara fiskal. Koreksi positif biasanya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak

Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa

Dana cadangan

Jumlah melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan

Pajak Penghasilan (PPh)

Harta yang dihibahkan

Gaji yang dibayarkan kepada pemilik

Sanksi administrasi

Selisih penyusutan/amortisasi komersial di atas penyusutan/amortisasi fiskal

Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan PPh Final

Penyesuaian fiskal positif lain.”

Bagaimana Tahapan Dalam Rekonsiliasi Fiskal?

“Langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk melakukan rekonsiliasi fiskal adalah sebagai berikut:

Mengenal terlebih dahulu penyesuaian fiskal yang diperlukan atau dibutuhkan

Melakukan analisis terhadap elemen penyesuaian untuk menentukan pengaruhnya terhadap laba usaha kena pajak

Melakukan rekonsiliasi fiskal atau koreksi fiskal dengan memantau angka koreksi fiskal negatif dan positif

Menyusun laporan keuangan secara fiskal sebagai lampiran SPT tahunan pajak penghasilan.”

Apa yang Menjadi Alasan Retur Dokumen Lain Faktur Pajak Dibuat?

“Retur Dokumen Faktur Pajak bisa terjadi, karena terdapat pengembalian atau pembatalan barang dari PKP penjual. Berikut ini sejumlah alasan yang menyebabkan Retur Dokumen Lain Faktur Pajak dibuat:

Barang tidak sesuai standar atau kesepakatan yang sudah didiskusikan sebelumnya

Barang mengalami kerusakan atau cacat

Terdapat pembatalan dengan alasan khusus yang sudah didiskusikan

Terdapat kesalahan informasi barang yang perlu dikoreksi.”

Bagaimana Ketentuan Pembuatan Retur Dokumen Lain Faktur Pajak?

“Adapun, ketentuan dalam pembuatan Retur Dokumen Lain Faktur Pajak adalah sebagai berikut:

Retur Dokumen Lain Faktur Pajak dibuat oleh PKP yang melakukan pembelian

Retur Dokumen Lain Faktur Pajak dibuat secara bersamaan dengan pengembalian BKP

Retur Dokumen Lain Faktur Pajak harus membuat beberapa informasi, yaitu nomor Dokumen Lain, nomor Dokumen yang diretur, tanggal retur, masa pajak, tahun pajak, indentitas PKP yang membeli barang, identitas PKP yang menjual barang, deskripsi BKP dan nilai barang, serta nilai PPN atas transaksi tersebut, dan nama serta tanda tangan yang berhak menandatangani retur

Retur Dokumen Lain Faktur Pajak tidak perlu dibuat, jika PKP penjual melakukan penggantian atas BKP yang dikembalikan.”

Bagaimana Dampak Dari Retur Dokumen Lain Faktur Pajak Masukan dan Keluaran?

“Terdapat sejumlah dampak dari Retur Dokumen Lain Faktur Pajak Masukan dan Keluaran, antara lain:

Mengurangi PPN Keluaran PKP Penjual jika sebelumnya PPN Keluaran telah dilaporkan

Mengurangi harta atau biaya dari PKP Pembeli, namun jika PPN Masukan tidak bisa dikreditkan maka perlu dilakukan pembebasan atau kapitalisasi

Mengurangi PPN Masukan PKP Pembeli jika sebelumnya PPN Masukan telah dikreditkan

Jika sebelumnya sudah dilakukan kapitalisasi, maka dokumen lain faktur pajak tersebut akan mengurangi harta/biaya dari pembeli non PKP.”

Apa Itu Faktur Pajak?

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). Pengertian Faktur Pajak ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). Perlu diketahui, Faktur Pajak harus dibuat oleh PKP untuk setiap penyerahan BKP dan/atau JKP, ekspor BKP tidak berwujud, dan ekspor JKP.

Apa Fungsi Faktur Pajak?

Faktur Pajak berfungsi sebagai bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP Penjual atau Pengusaha Jasa. Selain itu, Faktur Pajak berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak kepada PKP yang menyerahkan BKP dan/atau JKP. Serta, Faktur Pajak juga berfungsi sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan.

Apa Itu Faktur Pajak Masukan?

“Faktur Pajak Masukan adalah Faktur Pajak yang dibayar oleh PKP pada saat:

Perolehan BKP dan/atau JKP

Pemanfaatan BKP dan/atau JKP tidak berwujud dari luar daerah pabean

Impor BKP telah dipungut oleh PKP pada saat pembelian BKP dan/atau JKP dalam masa pajak tertentu.

Dari pembelian barang atau jasa kena PPN yang dipotong oleh PKP Penjual tersebut, PKP Pembeli akan memperoleh Faktur Pajak yang diterbitkan PKP Penjual, dan transaksi tersebut menjadi Faktur Pajak Masukan (PPN Masukan) bagi PKP Pembeli.

PPN Masukan ini dapat dijadikan sebagai kredit pajak oleh PKP Pembeli atau pengurang pajak dari sisa pajak terutang, apabila Pajak Masukan lebih besar dari Pajak Keluaran. Selain itu, PPN Masukan yang lebih besar tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.”

Apa Itu Faktur Pajak Keluaran?

“Faktur Pajak Keluaran adalah Faktur Pajak yang dipungut oleh PKP pada saat:

Penyerahan atau penjualan BKP dan/atau JKP

Ekspor BKP berwujud

Ekspor BKP dan/atau JKP tidak berwujud.

Artinya, jika PKP Penjual melakukan menjual barang atau jasa kena PPN, maka PKP Penjual tersebut wajib membuat Faktur Pajak dan memberikannya ke PKP Pembeli. Faktur Pajak yang dibuat dan diserahkan pada PKP Pembeli inilah dinamakan Faktur Pajak Keluaran.

Sebab, PKP Penjual harus memungut/memotong PPN atas transaksi tersebut dan menyetorkan pemungutan/pemotongan tersebut apabila PPN Terutang lebih besar dibanding Pajak Masukan.”

Apakah Tarif Pajak Akan Lebih Tinggi Jika Tidak Memiliki NPWP?

“Semenjak NIK berlaku sebagai NPWP, penetapan tarif PPh Pasal 21 tetap akan lebih tinggi 20% bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP.

Pengenaan tarif tambahan ini akan terjadi, jika NIK belum diaktivasi sebagai NPWP atau belum memiliki status valid di laman DJP Online. Untuk menghindari pengenaan tarif lebih tinggi ini, Anda harus memiliki NPWP atau melakukan aktivasi NIK sebagai NPWP.”

Bagaimana Ketentuan Aktivasi NIK sebagai NPWP bagi Wajib Pajak yang Memiliki NPWP dan Tidak Memiliki NPWP?

“Keduanya memiliki ketentuan yang berbeda. Bagi Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP tidak perlu melakukan permohonan aktivasi, karena akan ditetapkan sesuai jabatan saat integrasi dan sinkronisasi data.

Bagi Wajib Pajak yang belum memiliki NPWP, maka perlu mengajukan permohonan aktivasi NIK sebagai NPWP dengan memenuhi syarat bahwa penghasilannya telah lebih dari batasan PTKP. “

Apa Saja Dokumen yang Dapat Digunakan Sebagai Alat Bukti Pembayaran Pajak?

“Dokumen yang dapat digunakan sebagai alat bukti pembayaran pajak di antaranya ialah sebagai berikut:

Bukti Penerimaan Negara (BPN)

Bukti Penerimaan Negara (BPN) adalah sebuah dokumen yang diterbitkan oleh bank persepsi, bank devisa, atau pos persepsi yang berasal dari transaksi penerimaan negara dan di dalamnya tertera NPTN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara), dan NTB (Nomor Transaksi Bank) atau NTP (Nomor Transaksi Pos). Bukti Penerimaan Negara (BPN) menjadi bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang mana kedudukannya dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak (SSP).

Surat Setoran Pajak (SSP)

Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilaksanakan oleh Wajib Pajak dengan menggunakan formulir atau dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran, seperti kantor pos, bank BUMN, atau bank BUMD yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.”

Apa Perbedaan NTPN, NTB, dan NTP dalam Bukti Penerimaan Negara?

“NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara) adalah nomor tanda bukti pembayaran atau penyetoran ke kas negara yang tertera pada BPN yang diterbitkan oleh sistem settlement dan dikelola oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.

Sementara NTB (Nomor Transaksi Bank) merupakan sebuah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan oleh bank persepsi. Sedangkan, NTP (Nomor Transaksi Pos) merupakan sebuah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan oleh pos persepsi.”

Apa Saja Elemen yang Tercantum Dalam BPN?

Beberapa elemen yang tercantum dalam Bukti Penerimaan Negara (BPN), yaitu Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN), Nomor Transaksi Bank (NTB) atau Nomor Transaksi Pos (NTP), kode billing, NPWP, nama Wajib Pajak, dan alamat Wajib Pajak.

Apa Saja Elemen yang Tercantum Dalam SSP?

“Beberapa elemen yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak (SSP), yaitu NPWP, nama Wajib Pajak, alamat Wajib Pajak, kode akun pajak, kode jenis setoran, uraian pembayaran, masa pajak, tahun pajak, nomor ketetapan, jumlah pembayaran, terbilang, diterima oleh kantor penerima pembayaran, Wajib Pajak/penyetor, serta ruang validasi kantor penerima pembayaran.

Untuk ruang validasi kantor penerima pembayaran dapat diisi NTTP (Nomor Transaksi Pembayaran Pajak) dan NTB / NTP.”

Apa Itu Nota Retur Faktur Pajak?

Nota Retur Faktur Pajak merupakan dokumen yang harus disertakan ketika terjadi pengembalian barang dari pembeli kepada penjual. Nota Retur Faktur Pajak terdiri dari 3 (tiga) rangkap yang masing-masing ditujukan bagi PKP Penjual, PKP Pembeli (dijadikan sebagai arsip), dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Apa yang Menjadi Alasan Nota Retur Faktur Pajak Dibuat?

“Nota Retur Faktur Pajak bisa terjadi karena terdapat pengembalian atau pembatalan barang dari PKP penjual. Berikut ini sejumlah alasan yang menyebabkan Nota Retur Faktur Pajak dibuat:

Barang tidak sesuai standar atau kesepakatan yang sudah didiskusikan sebelumnya

Barang mengalami kerusakan atau cacat

Adanya pembatalan dengan alasan khusus yang sudah didiskusikan

Adanya kesalahan informasi barang yang perlu dikoreksi.”

Bagaimana Ketentuan Pembuatan Nota Retur Faktur Pajak?

“Adapun, ketentuan dalam pembuatan Nota Retur Faktur Pajak adalah sebagai berikut:

Pembuatan Nota Retur Faktur Pajak dilakukan oleh PKP yang melakukan pembelian

Nota Retur Faktur Pajak dibuat saat bersamaan dengan pengembalian BKP

Nota Retur Faktur Pajak harus membuat beberapa informasi, yaitu nomor urut Nota Retur Faktur Pajak; nomor, kode seri, tanggal Faktur Pajak dari BKP yang dikembalikan, identitas PKP yang membeli barang, identitas PKP yang menjual barang, deskripsi BKP dan nilai barang serta nilai PPN atas transaksi tersebut, tanggal pembuatan Nota Retur Faktur Pajak, dan nama serta tanda tangan yang berhak menandatangani nota retur

Nota Retur Faktur Pajak tidak perlu dibuat jika PKP penjual melakukan penggantian atas BKP yang dikembalikan.”

Bagaimana Pengaruh Dari Retur Faktur Pajak Masukan dan Keluaran?

“Terdapat sejumlah pengaruh dari Retur Faktur Pajak Masukan dan Keluaran, antara lain:

Mengurangi PPN Keluaran PKP Penjual jika sebelumnya PPN Keluaran telah dilaporkan

Diperhitungkan saat nota retur diterima

Akan mengurangi harta/biaya dari PKP Pembeli, namun jika PPN Masukan tidak bisa dikreditkan maka perlu dilakukan pembebasan atau kapitalisasi

Mengurangi PPN Masukan PKP Pembeli jika sebelumnya PPN Masukan telah dikreditkan

Diperhitungkan saat nota retur dibuat

Jika sebelumnya sudah dilakukan kapitalisasi, maka faktur tersebut akan mengurangi harta/biaya dari pembeli non PKP.”

Apa Saja Jenis Surat Pemberitahuan (SPT)?

“Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan ada 2 (dua) jenis SPT, yakni SPT Masa dan SPT Tahunan:

SPT Masa

SPT Masa digunakan untuk melaporkan pajak dalam satu masa pajak atau bulan. SPT Masa secara umum dibagi menjadi SPT Masa PPh dan SPT Masa PPN.

SPT Tahunan

SPT Tahunan adalah surat pemberitahuan untuk suatu tahun pajak. SPT Tahunan terdiri atas SPT Tahunan Orang Pribadi dan SPT Tahunan Badan.”

Apa Saja Jenis Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh?

“SPT Masa PPh adalah surat pemberitahuan masa untuk Pajak Penghasilan (PPh). SPT Masa PPh terdiri dari beberapa jenis SPT Masa PPh yang diantaranya ialah:

SPT Masa PPh Pasal 23/26

Jenis SPT Masa PPh Pasal 23/26 adalah jenis SPT atas pajak yang dikenakan atas modal, hadiah, penghargaan, dan penyerahan jasa, selain yang dipotong oleh PPh Pasal 21. SPT Masal PPh 23/26 memiliki batas akhir pembayaran pada tanggal 10 bulan berikutnya dan batas waktu pelaporan pada tanggal 20.

SPT Masal PPh Pasal 21/26

Jenis SPT Masa PPh Pasal 23/26 adalah surat pemberitahuan atas pemotongan/pemungutan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang sehubungan dengan pekerjaan yang dijalankan oleh orang pribadi.

Batas akhir pembayaran PPh Pasal 21/26 adalah tanggal 10 bulan berikutnya dan batas waktu pelaporan adalah tanggal 20. SPT Masa jenis ini berbentuk formulir SPT PPh 1721 yang mana terbagi menjadi 2 jenis, yaitu 1721 A1 untuk karyawan swasta dan 1721 A2 untuk pegawai negeri

SPT Masa PPh Pasal 22

Jenis SPT Masa PPh Pasal 22 adalah surat pemberitahuan atas potongan pajak penghasilan pada Wajib Pajak badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang menjalankan kegiatan perdagangan impor, ekspor, dan re-impor.

Batas waktu pelaporan adalah hari kerja akhir minggu berikutnya. Batas akhir pembayaran PPh Pasal 22 adalah hari berikutnya setelah pajak dipungut.

SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2)

Jenis SPT Masal PPh Pasal 4 ayat (2) adalah pembayaran PPh Final yang dikenakan atas beberapa jenis penghasilan yang didapatkan dan pemotongan pajak bersifat final serta tidak dapat dikreditkan dengan pajak penghasilan terutang. Batas akhir pembayaran pada tanggal 10 bulan berikutnya dan batas waktu pelaporan pada tanggal 20.

SPT Masa PPh Pasal 15

SPT Masa PPh Pasal 15 adalah surat pemberitahuan atas pajak penghasilan yang dikenakan atau dipungut dari wajib pajak yang bergerak di bidang industri tertentu sesuai UU PPh. Batas akhir pembayarannya adalah tanggal 10 bulan berikutnya dan batas waktu pelaporan pada tanggal 20.

SPT Masa PPh sesuai PP No.23 Tahun 2018

SPT jenis ini adalah surat pemberitahuan atas pembayaran pajak penghasilan final bagi UMKM yang dikenakan tarif Pajak Penghasilan 0,5% dari peredaran bruto.

SPT Masa PPh Pasal 25

SPT Masa PPh Pasal 25 adalah jenis SPT angsuran pembayaran pajak penghasilan yang berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak Badan. Batas akhir pembayaran angsurannya adalah tanggal 15 bulan berikutnya, serta batas pelaporan setiap tanggal 20.

Apa Saja Jenis Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN?

Jenis SPT Masa PPN adalah surat pemberitahuan masa untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). SPT Masa PPh terdiri dari beberapa jenis SPT Masa PPh yang di antaranya ialah:

SPT Masa PPN dan PPnBM

Jenis SPT Masa ini berlaku untuk kegiatan barang dan/atau jasa kena PPN dan PPnBM. Pelaporan SPT Masa PPN ini berbentuk Formulir SPT Masa PPN 1111.

SPT Masa PPN PKP Pedagang Eceran

Jenis SPT Masa ini berlaku untuk transaksi yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) Pedagang Eceran. SPT Masa PPN ini berbentuk Formulir SPT Masa PPN 1111 DM.

SPT Masa PPN Bagi Pemungut

Jenis SPT Masa PPN bagi pemungut adalah surat pemberitahuan yang diperuntukkan bagi pemungut PPN. Jenis SPT Masa PPN ini berbentuk Formulir SPT Masa PPN 1107.”

Apa Saja Jenis Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan?

“SPT Tahunan wajib dilaporkan setiap tahun atau pada akhir tahun pajak. SPT Tahunan sendiri dibagi atas 2 (dua) jenis, yaitu:

SPT Tahunan Orang Pribadi

Memiliki batas pelaporan paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak atau pada akhir bulan Maret. Jenis SPT Tahunan ini berbentuk Formulir SPT Tahunan 1770, SPT 1770 S, dan SPT 1770 SS.

SPT Tahunan Badan

Memiliki batas pelaporan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak atau pada akhir bulan April. Jenis SPT Tahunan ini berbentuk Formulir SPT Tahunan 1771.”

Apa Itu Surat Ketetapan Pajak?

“Merujuk pada Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), atau Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).

Surat Ketetapan Pajak (SKP) tersebut akan dikeluarkan oleh pihak yang berkuasa, yakni Kantor Pajak Pratama (KPP) berdasarkan hasil pemeriksaan dan keputusan DJP.”

Apa Fungsi Surat Ketetapan Pajak?

“Secara umum, Surat Ketetapan Pajak (SKP) memiliki fungsi sebagai berikut:

Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban formal atau material

Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak

Saranan untuk mengembalikan kelebihan pajak

Sarana untuk menginformasikan jumlah pajak yang terutang.”

Apa Saja Jenis Surat Ketetapan Pajak?

“Bagi DJP sendiri, Surat Ketetapan Pajak (SKP) berfungsi sebagai dasar hukum untu memahami atas adanya hak dan kewajiban setiap Wajib Pajak. Berikut ini jenis-jenis Surat Ketetapan Pajak (SKP) menurut peraturan perundang-undangan perpajakan:

Surat Tagihan Pajak (STP)

Surat yang diterbitkan untuk menagih pajak dan pemberian sanksi administrasi berupa bunga atau denda.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

SKPKB dikeluarkan oleh DJP karena Wajib Pajak kurang atau tidak membayar pajak terutang, telah menyampaikan SPT Masa dari batas waktu yang sudah ditetapkan, adanya salah hitung terkait PPN dan PPnBM yang dikenai tarif 0%, dan tidak diketahui besarnya pajak terutang.

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

SKBLB dikeluarkan oleh DJP karena Wajib Pajak lebih membayar pajak terutang dari yang seharusnya. Dalam SKPLB akan dicantumkan berapa jumlah kelebihan pembayaran pajak.

Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

SKPN dikeluarkan oleh DJP sebagai bukti bahwa jumlah pokok pajak yang dibayarkan oleh Wajib Pajak sama dengan jumlah kredit pajak.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

SKBKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.”

Apa Perbedaan NPWP Badan dan NPWP Orang Pribadi?

“Perbedaan pokok antara NPWP Badan dan NPWP Orang Pribadi bisa terlihat pada 2 (dua) digital pertama pada Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang menunjukkan identitas pemilik berdasarkan tipe Wajib Pajak.

Apabila NPWP diawali dengan angka 01, 02, atau 03, maka NPWP tersebut milik Wajib Pajak Badan. Sedangkan, jika 2 (dua) digit pertama diawali dengan angka 07, 08, atau 09, maka NPWP tersebut milik Wajib Pajak Orang Pribadi. Kemudian, terdapat juga perbedaan lainnya, yaitu:

Kepemilikan NPWP

Perbedaan selanjutnya terletak pada aspek kepemilikan NPWP itu sendiri. NPWP Badan hanya dimiliki oleh badan usaha atau perusahaan yang bergerak pada suatu bidang tertentu. Sementara NPWP Orang Pribadi hanya dimiliki oleh individu Wajib Pajak, seperti karyawan, wiraswasta, aparatur negara sipil, pebisnis, dan lain sebagainya.

Data Base Dalam Sistem Perpajakan

Perbedaan juga dapat dilihat dari aspek data base yang ada dalam sistem perpajakan. NPWP Badan memiliki data base yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan data yang dimiliki NPWP Orang Pribadi. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh kelengkapan administrasi sebuah perusahaan. Biasanya data base NPWP Badan terdiri dari jenis usaha yang dijalankan surat izin usaha, nama pemilik, dan lain sebagainya. Sementara, data-data semacam itu tidak ditemukan dalam NPWP Orang Pribadi.

Syarat Pembuatan NPWP

Perbedaan berikutnya terletak pada syarat untuk pembuatan NPWP tersebut. Jika ingin membuat NPWP Badan, maka syaratnya dapat berupa surat izin usaha, akta pendirian usaha, NPWP anggota. Sementara, jika membuat NPWP Orang Pribadi maka syaratnya dapat berupa KTP, kartu keluarga, surat izin usaha.

Besaran Biaya Pajak yang Dikeluarkan

Perbedaan juga dapat dilihat dari sisi besaran biaya pajak yang dikeluarkan. Pada dasarnya, besaran biaya pajak ini akan disesuaikan dengan penghasilan dari Wajib Pajak. Pada umumnya, penghasilan perusahaan akan lebih besar, sehingga hal itu membuat biaya pajak perusahaan pun jauh lebih besar daripada biaya pajak orang pribadi.”

Apa Kategori Dalam NPWP Badan dan Orang Pribadi?

“NPWP Badan adalah Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimiliki oleh seluruh badan, perusahaan, atau lembaga yang mempunyai penghasilan di Indonesia. Dalam NPWP Badan ini terdapat beberapa kategori didalamnya, yaitu NPWP Badan, Joint Operation, Kantor Perwakilan Perusahaan Asing, Bendahara, dan Penyelenggaraan Kegiatan.

Sementara itu, NPWP Orang Pribadi adalah sebuah Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimiliki per-individu oleh setiap orang yang sudah mempunyai pekerjaan atau berpenghasilan tetap di Indonesia. Dalam NPWP Orang Pribadi ini juga terdapat beberapa kategori di dalamnya, yaitu NPWP Orang Pribadi (induk), NPWP Hidup Berpisah (HB), NPWP Pisah Harta (PH), NPWP Memilih Terpisah (MT), dan NPWP Warisan Belum Terbagi (WBT).”

Bagaimana Format Baru NPWP Badan dan NPWP Orang Pribadi?

“Telah disahkan penggunaan NIK menjadi NPWP yang bertepatan dengan hari pajak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022. Dalam peraturan tersebut telah diatur pemformatan baru bagi penggunaan NPWP, baik untuk orang pribadi maupun badan. Berikut penjelasannya:

Bagi Wajib Pajak orang pribadi penduduk asli menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Baik penduduk asli Indonesia maupun orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

Bagi Wajib Pajak orang pribadi bukan penduduk, Wajib Pajak badan, dan Wajib Pajak instansi pemerintah menggunakan 16 digit pada format NPWP.

Bagi Wajib Pajak cabang menggunakan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU) dengan menggunakan 15 digit pada format NPWP.”

Apa Itu Tarif Pajak?

“Tarif pajak merupakan sebuah dasar pengenaan pajak terhadap objek pajak yang menjadi tanggungannya. Tarif pajak ini biasanya berupa persentase (%). Dasar Pengenaan Pajak (DPP) merupakan nilai berapa uang yang dijadikan untuk menghitung pajak yang terutang. Jika dicermati secara struktural, pengenaan tarif pajak terbagi menjadi atas 4 jenis tarif, antara lain:

Tarif Proporsional (a proportional tax rate structure)

Tarif ini merupakan tarif pajak yang persentasenya tetap meskipun terdapat perubahan pada dasar pengenaan pajak (DPP). Sebagai contoh, dalam perhitungan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang persentasenya 10% dan tarif PBB dengan tarif 0,5%.

Tarif Regresif/Tetap (a regresive tax rate structure)

Tarif ini merupakan tarif pajak yang akan selalu tetap sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sebagai contoh, pengenaan Bea Meterai dikenakan Rp3000 dan Rp6000. Namun, tarif bea meterai mengalami perubahan mulai 2021 berlaku meterai elektronik. Bea meterai terbaru menjadi Rp10.000 (single tarif).

Tarif Progresif (a progresive tax rate structure)

Tarif ini merupakan tarif pajak yang akan semakin naik dan sebanding dengan naiknya DPP (dasar pengenaan pajak). Sebagai contoh, pada perhitungan PPh (Pajak Penghasilan) dimana tarif tersebut adalah (UU HPP):

Lapisan I : Penghasilan Rp0 s.d. Rp 60.000.000 dikenakan 5%

Lapisan II : Penghasilan lebih dari Rp 60.000.000 s.d. Rp 250.000.000 dikenakan 15%

Lapisan III : Penghasilan lebih dari Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.000 dikenakan 25%

Lapisan IV : Penghasilan lebih dari Rp 500.000.000 s.d. Rp 5.000.000.000 dikenakan 30%

Lapisan V : Penghasilan lebih dari Rp 5.000.000.000 dikenakan 35%.

Tarif Degresif (a degresive tax rate structure)

Tarif ini merupakan tarif pajak yang kenaikan pada persentase tarifnya akan semakin rendah apabila dalam dasar pengenaan pajaknya semakin meningkat.”

Apa Itu Surat Paksa?

Surat Paksa adalah sebuah surat yang berisi perintah bagi seorang penanggung pajak untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Upaya menerbitkan Surat Pajak merupakan upaya terakhir sebelum otoritas pajak melakukan tindakan penagihan secara paksa terhadap penanggung pajak.

Apa Saja Sifat Surat Paksa?

“Sifat Surat Paksa adalah sebagai berikut:

Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan pajak yang sudah berkekuatan hukum tetap

Surat Paksa mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan grosse putusan hakim dalam perkara perdata, sehingga terhadap Surat Paksa tidak bisa diajukan banding

Surat Paksa mempunyai sifat in kracht van Gewijsde yang berarti telah berkekuatan hukum yang pasti

Surat Paksa mempunyai fungsi, yaitu menagih pajak dan menagih bukan pajak

Surat Paksa dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan atau penyanderaan.”

Bagaimana Bentuk dan Isi Surat Paksa?

“Mengenai bentuk dan isi dari Surat Paksa sudah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU PSPP. Surat Paksa harus dikepalai dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Adapun, Surat Paksa harus berisi beberapa informasi, antara lain adalah:

Nama Wajib Pajak atau nama Wajib Pajak dan penanggung pajak

Dasar penagihan pajak

Besarnya utang pajak

Perintah untuk membayar.”

Bagaimana Ketentuan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa?

“Mengacu pada Pasal 13 PMK No. 189/2020, ketentuan penagihan pajak dengan Surat Paksa adalah sebagai berikut:

Surat Paksa haru memuat informasi, antara lain nama Wajib Pajak dan/atau penanggung pajak, dasar penagihan pajak, besarnya utang pajak, dan perintah untuk membayar

Juru Sita pajak menginformasikan Surat Paksa dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa pada penanggung pajak

Pemberitahuan Surat Paksa dilakukan dengan cara membacakan isi Surat Paksa oleh Juru Sita pajak

Selanjutnya, isi pemberitahuan Surat Paksa dicantumkan dalam berita acara pemberitahuan

Berita acara pemberitahuan Surat Paksa harus memuat informasi, antara lain hari dan tanggal pemberitahuan, nama Juru Sita pajak, nama penerima Surat Paksa, tempat pemberitahuan Surat Paksa, dan ditandatangani oleh Juru Sita serta penerima Surat Paksa

Apabila surat pemberitahuan Surat Paksa tidak bisa langsung diserahkan pada yang bersangkutan, Surat Paksa bisa disampaikan melalui pemerintah daerah setempat

Apabila penanggung pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, maka penyampaian Surat Paksa bisa ditempelkan pada papan pengumuman di kantor pejabat yang menerbitkan atau melalui media masa

Apabila penanggung pajak menolak untuk menerima pemberitahuan Surat Paksa, maka Juru Sita akan tetap memberikan Surat Paksa tersebut dan mencatatnya dalam berita acara bahwa penanggung pajak menolak Surat Paksa.”

Apa Itu Surat Keputusan Keberatan?

“Surat Keputusan Keberatan atau disingkat SKK merupakan surat yang diajukan oleh wajib pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagai bentuk keberatan atas surat ketetapan pajak atau pemotong/pemungutan pajak oleh pihak ketiga.

Dalam mekanismenya, SKK ini diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai sarana untuk masyarakat yang kurang puas ataupun tidak sependapat dengan hasil pemeriksaan pajak. Ruang lingkup dalam SKK ini terjadi jika adanya keberatan pajak seperti total jumlah pajak, penetapan jumlah rugi, hingga jumlah potongan pajak yang diputuskan petugas pemeriksa.

Dalam hal ini, wajib pajak terkait hanya diperbolehkan mengajukan keberatan terhadap materi ataupun isi dari SKP yang meliputi jumlah rugi yang disesuaikan atas ketentuan pajak, jumlah besarnya pajak, atau terhadap materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan pajak. Terkait keberatan, wajib pajak dapat mengajukan keberatan atas beberapa surat, yakni sebagai berikut:

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

Surat Ketetapan Pajak Kurang Baya Tambahan (SKPKBT)

Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan.

Pengajuan keberatan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP dengan surat keberatan. Adapun, persyaratan yang perlu dipenuhi oleh wajib pajak apabila mengajukan keberatan, antara lain:

Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia

Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan dan dilampirkan dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan, atau bukti pemotongan

Surat keberatan diajukan hanya untuk satu Surat Ketetapan Pajak atau untuk satu pemotongan atau pemungutan pajak

Melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan disertai fotokopi bukti pelunasannya (persyaratan ini hanya berlaku untuk pengajuan keberatan atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang berkaitan dengan Surat Pemberitahuan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan seterusnya)

Diajukan paling lama 3 bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi, karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur)

Ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat keberatan tersebut wajib dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 UU KUP.”

Apa Itu Putusan Banding?

“Merujuk dalam Pasal 1 angka 6 UU Nomor 14 Tahun 2022 mengenai pengadilan pajak, dimana dalam peraturan tersebut dikatakan bahwa banding merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh setiap wajib pajak ataupun penanggung pajak apabila merasa kurang puas atas hasil keputusan keberatan yang sebelumnya sudah diajukan.

Pengajuan banding ini tentunya harus berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Dalam Pasal 31 ayat (2) dijelaskan bahwa pengadilan pajak atas banding, dilakukan dengan memeriksa dan memutuskan sengketa atas keputusan keberatan, kecuali yang ditentukan lain oleh peraturan perpajakan yang berlaku.

Seperti yang kita ketahui bahwa di Indonesia sistem perpajakannya menggunakan sistem self assessment atau sebuah sistem pemungutan pajak yang memberi kepercayaan ataupun kebebasan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung dan menyetorkan besaran pajak hingga melaporkannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dalam proses pelaporan tersebut akan dilakukan pemeriksaan oleh DJP yang nantinya diperoleh Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Dari SKPKB yang diterbitkan oleh DJP, wajib pajak dapat melakukan banding, jika merasa kurang puas atas hasil keputusan keberatan tersebut.

Apabila wajib pajak ingin melakukan banding, tentunya terdapat persyaratan yang wajib dipenuhi oleh wajib pajak, antara lain:

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan

Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut

Terhadap 1 Keputusan diajukan 1 Surat Banding.

Selain persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan banding, wajib pajak juga perlu mengetahui siapa saja pihak yang diperbolehkan mengajukan banding. Berikut beberapa pihak yang diperbolehkan melakukan pengajuan banding:

Dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli, warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya

Apabila selama proses Banding, pemohon Banding meninggal dunia, Banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon Banding pailit

Apabila selama proses Banding pemohon Banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban, karena penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.”

Apa Itu Putusan Gugatan?

“Gugatan merupakan sebuah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh setiap wajib pajak ataupun penanggung pajak atas pelaksanaan penagihan pajak serta pada keputusan yang diajukan. Gugatan tentunya harus dilakukan berdasarkan undang-undang yang berlaku, khususnya dalam bidang perpajakan.

Gugatan akan disampaikan wajib pajak kepada pengadilan pajak atau badan peradilan yang memiliki wewenang dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak ataupun penanggung pajak yang mengupayakan keadilan.

Sedangkan, putusan atau keputusan merupakan suatu penetapan yang tertulis dibidang perpajakan dan diterbitkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Jadi dalam hal ini, dapat disimpulkan putusan gugatan adalah sebuah hasil akhir yang tertulis yang dikeluarkan oleh pihak yang memiliki otoritas atau wewenang dalam kekuasaan kehakiman atas gugatan atau sengketa pajak yang diajukan oleh wajib pajak yang mengupayakan keadilan dan tentunya sudah disesuaikan dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

Sebelum memperoleh hasil atau putusan gugatan dari pengajuan yang diajukan wajib pajak, tentunya terdapat proses yang harus dilalui, antara lain:

Gugatan diajukan dengan Surat Gugatan dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak

Ditujukan kepada Pengadilan Pajak dengan melampirkan

Salinan keputusan yang digugat

Data dan bukti-bukti pendukung lainnya

Surat Kuasa bermeterai cukup, bila diwakili oleh kuasanya.”

Putusan Peninjauan Kembali?

“Istilah dari peninjauan kembali dalam perpajakan merupakah suatu proses hukum yang berkaitan dengan sengketa pajak. secara umum, peninjauan kembali di definisikan sebagai kondisi dimana wajib pajak masih kurang puas atau tidak setuju dengan hasil putusan banding yang telah ditetapkan. Ketidakpuasan akan hasil tersebut dapat diajukan peninjauan kembali oleh wajib pajak sebagai haknya kepada Mahkamah Agung.

Ketentuan mengenai peninjauan kembali telah tertuang dalam UU Nomor 14 Tahun 2002 mengenai Pengadilan Pajak, tetapnya pada Pasal 77 ayat (3) dimana dikatakan bahwa pihak-pihak yang mengalami sengketa pajak dapat mengajukan haknya untuk melakukan peninjauan kembali atas hasil keputusan pada putusan pengadilan pajak sebelumnya.

Meskipun, putusan pengadilan pajak ini merupakan putusan terakhir dan memiliki kekuatan hukum sesuai dengan undang-undang, namun para wajib pajak masih memiliki hak atas putusan akhir tersebut untuk melakukan peninjauan kembali sekiranya hasil daripada putusan akhir tersebut masih terdapat ketidakadilan.

Dalam putusan peninjauan kembali tentunya terdapat jangka waktu, berikut rincian dari jangka waktu keputusan peninjauan kembali:

Setelah Wajib Pajak yang bersangkutan mengirimkan permohonan untuk peninjauan kembali, maka Mahkamah Agung akan memeriksa dan memutuskan permohonan atas peninjauan kembali dengan ketentuan sebagai berikut:

Dalam jangka waktu 6 bulan, Mahkamah Agung telah mengambil keputusan sejak permohonan yang diajukan diterima oleh Mahkamah Agung. Sedangkan, dalam hal pengadilan pajak akan mengambil putusan melalui pemeriksaan acara biasa

Dalam jangka waktu 1 bulan, Mahkamah Agung telah mengambil keputusan sejak permohonan yang diajukan diterima oleh Mahkamah Agung. Sedangkan, dalam hal pengadilan pajak, akan mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat

Putusan atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.”

Apa Itu Surat Keputusan?

“Pada dasarnya, surat kepu atau surat keputusan merupakan surat yang kerap kali digunakan oleh pekerja atau karyawan perusahaan pada saat bergabung dengan organisasi atau asosiasi lain. Bagi instansi atau perusahaan tentunya memiliki kemudahan dalam membuat surat keputusan.

Secara umum, keputusan memiliki fungsi dalam menentukan status resmi dan hukumnya seseorang atau organisasi dalam hal status atau status para pihak dalam keputusan atau organisasi yang bersangkutan.

Kendati demikian, sebenarnya pihak-pihak tersebut bisa mengambil keputusan secara lisan. Namun, hal tersebut tentunya tidak diperbolehkan dilakukan melalui keputusan formal dan penting. Selain itu, putusan lisan juga tidak memiliki bentuk pembuktian secara sah, sehingga tidak memiliki pengaruh atau kekuatan hukum yang kuat dan mudah untuk disalahgunakan. Dalam surat kepu mengandung beberapa unsur sebagai berikut:

Kata Pengantar: Dasar hukum atau dasar pengambilan keputusan. Bagian ini biasanya berisi hukum yang terkait dengan masalah yang menunggu keputusan

Desiseratum: Tujuan dari keputusan tersebut

Diktum: isi keputusan ditandai dengan kata-kata “memutuskan”.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sebuah keputusan memiliki fungsi begitu juga dengan surat kepu (keputusan). Berikut fungsi atau kegunaan surat kepu:

Pemberian kepastian atau keputusan sebagai solusi permasalahan

Mendapatkan penetapan tertulis secara resmi dari instansi atau badan terkait

Memperoleh tindakan hukum perundang-undangan

Memiliki jaminan legalitas hukum secara tertulis.”

Apa Itu Pemeriksaan Pajak?

Merujuk pada Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP), pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, atau bukti yang dilakukan secara objektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan dalam hal menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apa yang Menjadi Landasan Hukum Dari Pemeriksaan Pajak?

“Ketentuan mengenai pemeriksaan pajak telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana mengalami beberapa kali perubahan hingga terakhir diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU KUP).

Pada Pasal 31 ayat (1) UU KUP disampaikan bahwa tata cara pemeriksaan diatur berdasarkan peraturan menteri keuangan. Oleh sebab itu, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 184/PMK.03/2015. Lalu, PMK Nomor 184/PMK.03/2015 ini diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/PMK.03/2021 yang merupakan aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja.”

Apa Saja Tujuan Pemeriksaan Pajak?

“Tujuan dari pemeriksaan pajak, yaitu:

Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak

Memenuhi dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

Apa Saja Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak Dalam Tujuan Menguji Kepatuhan Wajib Pajak?

“Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) PMK 184/2015. Pemeriksaan dilaksanakan jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak

Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan lebih bayar, termasuk yang sudah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak

Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi bayar

Wajib Pajak menyampaikan atau tidak menyampaikan SPT, namun melampaui batas waktu yang sudah ditetapkan dalam Surat Teguran

Wajib Pajak melakukan peleburan, pemekaran, penggabungan, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selamanya

Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan

Wajib Pajak menyampaikan SPT yang terpilih untuk dilakukan pemeriksaan berdasarkan analisis rasio.”

Apa Saja Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak Dalam Tujuan Lain?

“Sementara pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka memenuhi dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diatur dalam Pasal 70 PMK 184/2015. Pemeriksaan dilaksanakan jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

Memberikan NPWP secara jabatan

Menghapus NPWP

Pengukuhan PKP

Pencabutan atau pencopotan atas pengukuhan PKP

Wajib Pajak mengajukan keberatan terkait perpajakan

Pencocokan data dan alat keterangan

Pengumpulan bahan guna penyusunan norma perhitungan penghasilan neto

Penentuan wajib pajak yang bertempat di daerah terpencil

Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak

Menentukan waktu mulai produksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan

Permintaan informasi dari negara mitra P3B.”

Apa Saja Jenis Pemeriksaan Pajak?

“Petugas akan melakukan proses pemeriksaan pajak untuk memastikan Wajib Pajak telah melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan sesuai dan benar, maka jenis pemeriksaan tersebut terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:

Pemeriksaan Lapangan

Pemeriksaan lapangan adalah kegiatan pemeriksaan yang dilakukan di tempat kediaman, tempat bisnis, dan tempat wajib pajak bekerja, atau tempat lain yang sudah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pemeriksaan lapangan dilakukan untuk menguji pemenuhan kewajiban perpajakan dan dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada wajib pajak sampai dengan tanggal SPHP disampaikan. Perpanjangan pemeriksaan dapat dilaksanakan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan.

Pemeriksaan Kantor

Pemeriksaan kantor adalah kegiatan pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pemeriksaan kantor dilakukan dalam waktu paling lama 4 (empat) bulan sejak tanggal wajib pajak memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor. Perpanjangan pemeriksaan dapat dilaksanakan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan.”

Apa Saja Teknik Pemeriksaan Pajak?

“Dalam melaksanakan kegiatan pemeriksaan pajak, petugas harus mengikuti aturan perpajakan yang berlaku. Oleh sebab itu, terdapat sejumlah teknik pemeriksaan pajak yang perlu diketahui dan dipahami dengan baik oleh petugas dan Wajib Pajak. Berikut ini beberapa teknik pemeriksaan pajak yang dapat digunakan:

Memanfaatkan informasi internal dan eksternal DJP

Melakukan pengujian pada keabsahan dokumen

Melakukan evaluasi

Menganalisis dan menelusuri angka

Menelusuri bukti

Melakukan pengujian keterkaitan

Melakukan ekualisasi dan rekonsiliasi

Meminta keterangan dan bukti

Melakukan konfirmasi dan inspeksi

Menguji kebenaran fisik dan perhitungan matematis

Melakukan wawancara dan sampling

Teknik audit dengan komputer.”

Bagaimana Tahapan Pemeriksaan Pajak?

“Pemeriksaan pajak diawali dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau pengiriman Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor. Apabila kondisi tidak memungkinkan, maka pemeriksaan pajak bisa dilaksanakan secara online.

Kemudian, hasil pemeriksaan harus disampaikan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) yang dilampiri dengan daftar temuan hasil pemeriksaan dan mencantumkan dasar hukum atas temuan tersebut.

Lalu, pemeriksaan pajak dalam pengujian kepatuhan Wajib Pajak diakhiri dengan pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), serta produk hukum yang dapat berupa SKPKB, SKPKBT, SKPN, SKPLB. Sedangkan, pemeriksaan untuk tujuan lain diakhiri dengan menerbitkan LHP berisikan usulan diterima atau ditolaknya permohonan Wajib Pajak.”

Apa Itu Penanggung Pajak?

“Setiap wajib pajak menjalankan kewajiban perpajakannya, tentunya memiliki hak dalam menghitung, membayar, hingga melapor pajak dengan waktu yang telah ditentukan berdasarkan peraturan perpajakan. Seperti yang kita ketahui, bahwa pajak merupakan sesuatu hal yang sifatnya memaksa, namun dengan sistem self-assessment.

Dalam artian lain, setiap orang pribadi atau badan yang memenuhi syarat baik secara subjektif dan objektif wajib melakukan kewajiban perpajakan, dalam melapor para wajib pajak memiliki kebebasan dalam melaporkan besaran pajak yang disetorkan.

Merujuk dalam UU Nomor 19 Tahun 2000 atas perubahan UU Nomor 19 Tahun 1997, istilah dari penanggung pajak sama halnya dengan wajib pajak atau dengan artian lain, penanggung pajak merupakan orang pribadi ataupun badan yang memiliki tanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Sementara itu, terkait penanggung pajak wajib pajak orang pribadi yang sudah meninggal masih belum jelas bagaimana praktiknya. Sedangkan untuk wajib pajak badan, sebagai penanggung pajaknya ialah perseroan terbatas, BUT (bentuk usaha tetap), persekutuan komanditer, persekutuan perdata dan firma, koperasi, yayasan, hingga joint operation (kerja sama operasi), termasuk satuan kerja instansi pemerintah.”

Apa Itu Pembukuan dan Pencatatan Pajak?

“Merujuk dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan (UU KUP) yang telah beberapa kali mengalami perubahan hingga pada Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2009.

Dalam peraturan tersebut, tepatnya dalam Pasal 28 ayat (9), pencatatan merupakan suatu kegiatan yang meliputi data-data yang terkumpul atas peredaran, penerimaan, atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk juga atas penghasilan yang berasal bukan dari objek pajak serta penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final.

Sedangkan, dalam Undang-Undang (UU) yang sama mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), lebih tepatnya dalam Pasal 1 ayat (29), dimana disebutkan bahwa pembukuan merupakan suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur dengan pengumpulan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, biaya, serta total perolehan dan penyerahan atas barang/jasa. Data-data yang terkempul tersebut nantinya akan dilanjutkan dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca ataupun laporan rugi untuk periode tahun pajak tersebut.

Adapun, tujuan dari penyelenggaraan pembukuan/pencatatan, yakni sebagai berikut:

Pengisian SPT

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak

Penghitungan PPN dan PPnBM

Penyelenggaraan pembukuan untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.

Meski memiliki peranan yang sama-sama penting, dimana pencatatan dan pembukuan menjadi dasar dalam pemenuhan kewajiban perpajakan bagi setiap wajib pajak dalam proses bayar-hitung-lapor. Dalam hal pembukuan dan pencatatan, terdapat kewajiban penyelenggaraan yang sedikit memiliki perbedaan, antara lain:

Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan

Wajib Pajak (WP) Badan

Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (Empat milyar delapan ratus juta rupiah).

Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan

Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah), dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan

Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.”

Apa Itu PIB?

“Merujuk pada Peraturan Kementerian Keuangan tentang importasi, Pemberitahuan Impor Barang (PIB) merupakan sebuah dokumen pemberitahuan yang diberikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas adanya kegiatan impor barang.

Dokumen PIB berisi informasi detail tentang barang impor, serta jumlah pajak dan bea masuk yang harus dibayar oleh importir kepada Bea cukai. Jika seluruh pembayaran sudah dilunasi, maka barang impor baru dapat diambil.”

Apa Fungsi PIB?

“Sama halnya dengan Faktur Pajak, PIB berfungsi sebagai bukti sah atas adanya transaksi impor yang dilakukan terkait dengan perpajakan. Sedangkan, secara detail fungsi Faktur sendiri adalah sebagai berikut:

Bukti tagihan untuk PKP yang menyerahkan barang dan/atau jasa kena pajak

Bukti pembayaran PPN yang dilakukan pemberi barang dan/atau jasa kena pajak pada PKP

Sarana kredit Pajak Masukan bagi PKP yang membeli barang dan/atau jasa kena pajak

Bukti pemungutan pajak, seperti PPN/PPnBM terhadap barang kena pajak yang dilakukan oleh DJBC.”

Apa Saja Jenis PIB?

“Jenis-jenis PIB adalah sebagai berikut:

PIB Biasa

PIB Biasa adalah dokumen PIB yang diajukan untuk sekali pengimporan saja, yaitu barang impor yang sudah tiba ataupun yang diajukan sebelum barang impor itu tiba. Cara pembayaran PIB Biasa adalah pembayaran bagi semua atau sebagian penarikan dalam satu PIB secara tunai, ditanggung pemerintah, atau dibebaskan.

PIB Berkala

PIB Berkala adalah dokumen PIB yang diajukan untuk lebih dari sekali pengimporan dalam satu periode, dan barang impornya telah lebih dulu dikeluarkan oleh Kawasan Pabean. Tata cara pembayaran PIB Berkala adalah hanya dilakukan jika fasilitas pembayaran bagi pungutan dalam PIB yang diajukan oleh pihak importir yang menerima pembayaran secara berkala.

PIB Penyelesaian

PIB Penyelesaian adalah dokumen PIB yang diajukan untuk sekali pengimporan setelah barang barang impor dikeluarkan dari Kawasan Pabean. Tata cara pembayaran PIB Penyelesaian adalah dengan jaminan, yakni jika dalam satu PIB ternyata ada pungutan yang diserahkan sebagai jaminan.”

Apa Saja Syarat Agar PIB Dapat Berfungsi Sebagai Faktur Pajak?

“Agar dokumen PIB dapat digunakan sebagai Faktur Pajak, maka penggunaannya harus memenuhi persyaratan berikut:

Harus mencantumkan identitas pemilik barang, yaitu nama, NPWP, dan alamat

Melampirkan SSP (Surat Setoran Pajak)

Melampirkan SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak)

Bukti pemungutan pajak oleh DJBC

Menyertakan surat nilai pabean atau surat penetapan tarif

Melampirkan surat penetapan pabean

Surat penetapan kembali tarif atau nilai pabean

Harus melakukan validasi PIB pada aplikasi e-Faktur.”

Apa Itu PEB?

“Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) adalah dokumen pabean yang digunakan untuk pemberitahuan pelaksanaan ekspor barang yang bisa berupa tulisan di atas formulir atau media elektronik. BPE ini diserahkan kepada Kantor Bea Cukai untuk mendapatkan izin berupa dokumen NPE (Nota Pelayanan Ekspor). NPE ini nantinya digunakan sebagai tanda surat jalan.

Merujuk pada Pasal 3 ayat (2) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-07/PJ/2021, PEB mempunyai kedudukan yang sama dengan Faktur Pajak. Jika eksportir tidak menggunakan PEB, maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar 1% dari Dasar Pengenaan Pajak.”

Apa Manfaat PEB?

“Manfaat PEB adalah sebagai berikut:

Menjadi tanda bukti untuk menjamin legalitas bahwa barang yang diekspor tersebut legal/sah

Memudahkan kinerja Bea dan Cukai dalam hal mendokumentasikan barang yang akan diekspor

Menjadi penjamin keamanan barang yang akan diekspor

Mempermudah pencatatan data statistik ekspor

Mempermudah administrasi ekspor.”

Dokumen Apa Saja yang Dibutuhkan Dalam Pembuatan PEB?

“Beberapa dokumen yang dibutuhkan dalam pembuatan PEB, antara lain sebagai berikut:

Surat invoice dalam ekspor

Surat packaging list

Surat izin ekspor digunakan untuk barang-barang yang sifatnya terbatas dalam kegiatan ekspor

Pajak dan cukai dalam rangka ekspor

Surat setoran pabean

Dokumen lainnya sesuai kebutuhan karakteristik barang yang akan diekspor.”

Bagaimana Prosedur Pembuatan PEB?

“Berikut ini prosedur pembuatan PEB di Kantor Bea dan Cukai yang dapat dilakukan:

Eksportir menyampaikan permohonan pembuatan dokumen PEB ke kantor Bea dan Cukai

Menjabarkan barang yang akan diekspor dalam bentuk dokumen

Pihak terkait atau petugas melakukan pemeriksaan atas barang yang akan diekspor

Apabila ditemukan kesalahan dalam penulisan data, akan diterbitkan NPP (Nota Pemberitahuan Penolakan)

Apabila ada dokumen persyaratan yang belum terpenuhi, maka akan diterbitkan NPPD (Nota Pemberitahuan Persyaratan Dokumen)

Apabila semua dokumen dan data sudah lengkap dan sesuai, maka dokumen PEB akan diterbitkan melalui NPE (Nota Pelayanan Ekspor)

Semua barang ekspor akan diperiksa secara fisik, lalu diterbitkan juga PPB (Pemberitahuan Pemeriksaan Barang).

Merujuk pada peraturan Kementerian Keuangan tentang importasi, Pemberitahuan Impor Barang (PIB) merupakan sebuah dokumen pemberitahuan yang diberikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas adanya kegiatan impor barang.

Dokumen PIB berisi informasi detail tentang barang impor, serta jumlah pajak dan bea masuk yang harus dibayar oleh importir kepada Bea cukai. Jika seluruh pembayaran sudah dilunasi, maka barang impor baru dapat diambil.”

Apa Itu Surat Setoran Pajak (SSP)?

“Surat Setoran Pajak (SSP) merupakan bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang sudah dilakukan oleh Wajib Pajak dengan menggunakan formulir atau dengan cara lain ke kas negara. Penyampaian SSP ini dapat melalui tempat pembayaran, seperti Pos, Bank BUMN/BUBD, dan lainnya.

Wajib Pajak harus terlebih dahulu membuat SPP dan membawa SSP tersebut ke bank atau kantor pos sebelum membayar pajak. Adapun SSP akan dianggap sah jika sudah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran atau jika telah divalidasi pembayarannya oleh pihak berwenang.”

Apa yang Menjadi Landasan Hukum Surat Setoran Pajak (SSP)?

“Ketentuan mengenai pengisian formulir Surat Setoran Pajak (SSP) awalnya diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian Surat Setoran Pajak.

Kemudian peraturan tersebut mengalami beberapa perubahan di antaranya adalah sebagai berikut:

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2010

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2013

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2015

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2015

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-06/PJ/2016

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2017

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2020 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian Surat Setoran Pajak.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2021 Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian Surat Setoran Elektronik”

Apa Saja Jenis Surat Setoran Pajak (SPP)?

“Berikut ini adalah jenis-jenis Surat Setoran Pajak (SSP):

SSP Standar adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak yang berfungsi untuk melakukan pembayaran/penyetoran pajak terutang ke Kantor Penerima Pembayaran serta sebagai bukti pembayaran dengan bentuk, ukuran, dan isi yang sudah ditetapkan

SSP Khusus adalah bukti pembayaran/penyetoran pajak terutang ke Kantor Penerima Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran dengan menggunakan mesin transaksi

Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam Rangka Impor (SSPCP) adalah jenis SSP yang digunakan oleh importir atau Wajib Bayar dalam rangka impor

Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau Buatan dalam Negeri adalah jenis SSP yang digunakan oleh pengusaha untuk cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN hasil tembakau buatan dalam negeri.”

Apa Saja Formulir Surat Setoran Pajak (SSP)?

“Formulir SSP dibuat dalam rangkap 4 (empat), di antaranya:

Lembar pertama: Arsip Wajib Pajak

Lembar kedua: Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)

Lembar ketiga: Dilaporkan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

Lembar keempat: Arsip Kantor Penerima Pembayaran”

Apa Saja Elemen yang Termuat Dalam SSP?

“Berikut ini adalah beberapa elemen yang termuat dalam Surat Setoran Pajak (SSP):

NPWP

Nama Wajib Pajak

Alamat Wajib Pajak

Kode Akun Pajak

Kode Jenis Setoran

Uraian Pembayaran

Masa Pajak

Tahun Pajak

Nomor Ketetapan

Jumlah Pembayaran

Terbilang

Diterima Oleh Kantor Penerima Pembayaran

Wajib Pajak/Penyetor

Ruang Validasi Kantor Penerima Pembayaran. Untuk ruang validasi kantor penerima pembayaran dapat diisi NTTP (Nomor Transaksi Pembayaran Pajak) dan NTB / NTP.”

Apa Itu Wajib Pajak?

“Merujuk dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, dimana Wajib Pajak didefinisikan sebagai orang pribadi atau badan yang memiliki kewajiban dalam pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, serta mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kriteria, baik secara subjektif ataupun objektif diwajibkan untuk melaporkan pajaknya atas penghasilan hingga kekayaan yang dimiliki.

Dalam hal ini, setiap wajib pajak memerlukan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) sebagai identitas dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Sebagaimana yang telah diatur dalam Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, yang mana wajib pajak diharuskan memiliki NPWP yang diberikan oleh DJP (Direktorat Jenderal Pajak). Secara umum Wajib Pajak terdiri atas Wajib Pajak orang pribadi (WP OP) dan Wajib Pajak badan (WP Badan).”

Apa Saja Bentuk Wajib Pajak Orang Pribadi?

“Berikut beberapa bentuk wajib pajak orang pribadi:

Orang Pribadi (Induk), meliputi Wajib Pajak yang belum menikah dan Wajib Pajak yang merupakan suami sebagai kepala keluarga.

Hidup Berpisah (HB), meliputi Wajib Pajak yang merupakan wanita kawin dan dikenai pajak secara terpisah karena hidup berpisah berdasarkan dengan putusan dari hakim.

Pisah Harta (PH), Wajib Pajak yang merupakan pasangan suami dan istri dan dikenai pajak secara terpisah karena telah menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis.

Memilih Terpisah (MT), meliputi Wajib Pajak yang merupakan wanita kawin, tetapi selain dari kategori Hidup Berpisah dan Pisah Harta, yang dikenakan pajak secara terpisah karena memilih untuk melaksanakan hak dan kewajiban atas perpajakannya secara terpisah dari suaminya.

Warisan Belum Terbagi (WBT), merupakan satu kesatuan, dimana subjek pajak ini adalah pengganti. Menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris”

Apa Saja Bentuk Wajib Pajak Badan?

“Wajib pajak badan merupakan sekumpulan orang atau modal yang menjadi satu kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Berikut beragam bentuk wajib pajak badan:

Joint Operation, merupakan Wajib Pajak yang berbentuk kerja sama operasi dalam melakukan penyerahan atas Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang mengatasnamakan bentuk kerja sama operasi.

Kantor Perwakilan Perusahaan Asing, merupakan Wajib Pajak dari perwakilan dagang asing atau kantor perwakilan perusahaan asing di Indonesia, namun yang bukan termasuk ke dalam Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Bendahara, merupakan bendahara pemerintah yang bertugas membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya dan diwajibkan untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak.

Penyelenggara Kegiatan, meliputi Wajib Pajak yang merupakan pihak selain dari keempat Wajib Pajak badan lainnya yang melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan.”

Apa Itu Surat Tagihan Pajak (STP)?

“Merujuk pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak atau sanksi administrasi berupa denda atau bunga yang berfungsi sebagai koreksi pajak terutang, sarana mengenakan sanksi kepada Wajib Pajak, serta sarana menagih pajak.

Surat Tagihan Pajak (STP) ini mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak. STP ini diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar.”

Apa Syarat Diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (STP)?

“Surat Tagihan Pajak (STP) diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar. Alasan diterbitkannya STP, karena Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya yang meliputi pembayaran dan pelaporan pajak.

Adapun, STP diterbitkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagai berikut:

PPh dalam tahun berjalan tidak dibayar atau kurang bayar

SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis atau salah hitung

Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda atau bunga

Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN, tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP

Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP, tetapi membuat faktur pajak

Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP, tetapi tidak membuat faktur pajak

PKP membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi faktur pajak secara lengkap”

Apa Fungsi Surat Tagihan Pajak (STP)?

“Adapun, fungsi dari diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (STP) adalah sebagai berikut:

Sebagai koreksi atas jumlah pajak terutang berdasarkan SPT Wajib Pajak

Sarana untuk mengenakan sanksi berupa denda atau bunga

Sarana untuk menagih pajak terutang.

Apa Saja Sanksi yang Diberlakukan?

Sanksi yang akan diberlakukan bagi penerima STP juga sudah termuat dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagai berikut:

1. Sanksi administrasi berupa denda Rp 50.000 jika Wajib Pajak tidak/terlambat menyampaikan SPT Masa

2. Sanksi administrasi berupa denda Rp 100.000 jika Wajib Pajak tida/terlambat menyampaikan SPT Tahunan

3. Sanksi berupa denda sebesar 2% dari DPP dalam hal:

Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP

Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP, tetapi membuat faktur pajak

Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP, tetapi tidak membuat faktur pajak

PKP membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi faktur pajak secara lengkap.

4. Sanksi administrasi berupa bunga, jika Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT miliknya dan hasil pembetulan tersebut ternyata kurang bayar

5. Sanksi administrasi berupa bunga, jika Wajib Pajak terlambat atau tidak membayar pajak yang sudah jatuh tempo pembayarannya.”

Bagaimana Cara Melunasi Surat Tagihan Pajak (STP)?

“Melunasi STP dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dengan membayarnya ke bank-bank yang menerima pembayaran pajak melalui Surat Setoran Pajak (SSP). Wajib Pajak harus mencantumkan nomor STP dalam SSP pada bagian Nomor Ketetapan.

Sebab, jika Wajib Pajak lupa mencantumkan nomor STP ini biasanya akan mengakibatkan permasalahan nantinya, karena Wajib Pajak akan dianggap belum membayar STP tersebut. Kemudian, jika masalah ini terjadi, maka Wajib Pajak harus menyelesaikannya melalui proses pemindahbukuan yang memerlukan waktu yang tidak sedikit.”

Apa Saja Kategori Pajak?

“Dalam hal ini, terdapat beberapa jenis pajak yang dikategorikan sesuai dengan pengelompokan jenis-jenis pajak, yakni sebagai berikut:

Berdasarkan Golongannya

Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan ataupun dilimpahkan kepada orang lain. Sebagai contoh, PPh (Pajak Penghasilan).

Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang dapat dialihkan kepada orang lain untuk pembayarannya. Sebagai contoh, PPN (Pajak Pertambahan Nilai).

Berdasarkan Sifatnya

Pajak Subjektif, yaitu pajak yang mengacu atau berdasarkan pada subjeknya, atau dalam artian akan disesuaikan dengan keadaan diri Wajib Pajak tersebut. Sebagai contoh, PPh (Pajak Penghasilan).

Pajak Objektif, yaitu pajak yang mengacu pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri dari Wajib Pajak tersebut. Sebagai contoh, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah).

Berdasarkan Lembaga/Instansi Pemungutnya

Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang nantinya akan digunakan sebagai pembiayaan rumah tangga negara. Sebagai contoh, PPh (Pajak Penghasilan), PPN dan PPnBM (Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah), serta Bea Materai.

Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah daerah yang nantinya digunakan sebagai pembiayaan rumah tangga daerah. Dalam hal ini, Pajak Daerah terbagi menjadi 2 jenis, yakni:

Pajak Provinsi, seperti Pajak Kendaraan Bermotor dan pajak bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dsb.

Pajak Kabupaten/Kota, seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Pajak Hiburan, dsb.”

Apa Itu Pajak Terutang?

“Merujuk dalam Pasal 1 Undang-Undang KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan), dimana dalam peraturan tersebut pajak terutang didefinisikan sebagai pajak yang harus dibayarkan pada suatu saat, dalam masalah pajak, dalam tahun pajak hingga dalam bagian tahun pajak yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam hal ini, konsep pajak terutang tentunya berbeda dengan ‘utang pajak’. Sebagaimana dengan sebutannya pajak ‘terutang’ memiliki arti sebagai wujud dari self-assessment system bukan dari wujud penagihan. Berdasarkan dengan peraturan yang menjadi dasar hukum, pajak terutang dapat kerap kali dijumpai dalam PPh, PPN, hingga PPnBM.

Ketentuan Perhitungan Pajak Terutang

Adapun, ketentuan perhitungan pajak terutang yang terbagi atas masing-masing jenis pajaknya, yaitu sebagai berikut:

Ketentuan Perhitungan Bagi PPh Terutang

Dalam hal ini, perhitungan akan dilakukan menggunakan tarif progresif. Tarif progresif yang digunakan ialah sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada saat itu yakni sesuai dengan UU HPP (5% hingga 35%)

Ketentuan Perhitungan Bagi PPN dan PPnBM Terutang

Dalam hal ini, perhitungan akan dikenakan Tarif PPN sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini, yaitu 11% dan 0% untuk ekspor BKP Berwujud/Tidak Berwujud dan JKP, serta 5% dan paling tinggi 15% yang harus ditentukan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Sedangkan, untuk Tarif PPnBM telah ditetapkan secara progresif tergantung jenis barang yang akan diimpor, pengenaan tarif mulai dari 10%, 20%, 30%, 40%, 60%, dan tertinggi sebesar 125%.”

Apa Itu Nomor Pokok Wajib Pajak?

“Dalam dunia perpajakan, pasti sudah tidak asing lagi dengan yang namanya ‘NPWP’. NPWP merupakan singkatan dari Nomor Pokok Wajib Pajak, yang mana nomor tersebut diberikan kepada Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat secara objektif maupun subjektif untuk melaksanakan administrasi perpajakan atau dengan kata lain sebagai tanda pengenal atau identitas diri dari Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajibannya.

Selain sebagai identitas bagi wajib pajak, NPWP memiliki fungsi dalam menjaga ketertiban dan ketaatan pembayaran pajak serta pengawasan administrasi perpajakan Wajib Pajak. Hal ini dikarenakan, semua dokumen yang berhubungan dengan perpajakan memiliki keterkaitan dengan nomor NPWP.

Setiap wajib pajak hanya diberikan satu NPWP saja. Nomor NPWP tersebut terdiri dari 15 digit angka, 9 digit angka pertama merupakan informasi kode wajib pajak, dan 6 digit terakhir merupakan informasi kode administrasi. NPWP juga terbagi atas 2 jenis, yakni:

NPWP Pribadi

Yaitu NPWP yang dimiliki secara individu bagi yang memiliki penghasilan di Indonesia. Berikut ini individu yang masuk ke daftar NPWP pribadi, yaitu:

Memiliki Penghasilan dari Pekerjaan

Memiliki Penghasilan dari Pekerjaan Bebas

Memiliki Penghasilan dari Usaha.

Selain itu, NPWP pribadi juga terbagi atas beberapa jenis, yakni:

NPWP KK (kepala keluarga)

NPWP PH (pisah harta)

NPWP HB (hidup berpisah)

NPWP MT (memilih terpisah)

NPWP WBT (warisan belum terbagi).

NPWP Badan

Yaitu NPWP yang dimiliki oleh setiap perusahaan atau badan usaha yang memperoleh penghasilan di Indonesia. Berikut ini perusahaan yang masuk ke dalam daftar NPWP Badan, yaitu:

Badan milik Pemerintah

Badan milik Swasta.

Selain itu, NPWP badan juga terbagi atas beberapa jenis, yakni:

Joint Operation

Bendahara

Penyelenggara Kegiatan

Kantor Perwakilan Perusahaan Asing.

Walaupun NPWP merupakan dokumen yang sangat penting dalam kewajiban perpajakan, kepemilikan NPWP tentunya akan memperoleh banyak manfaat di dalam ataupun di luar perpajakan, sebagai contoh:

Persyaratan Administrasi

Dengan memiliki NPWP, kita akan mendapatkan kemudahan dalam mengurus persyaratan administrasi yang kerap kali menjadikan NPWP sebagai syarat, seperti di bank. Beberapa instansi perbankan saat ini mengharuskan memasukkan nomor NPWP sebagai salah satu syarat utama atau syarat dokumen pendukung untuk mengurus administrasi di tempat tersebut. Sebagai contoh pembuatan kartu kredit, rekening dana nasabah (RDN) , rekening efek, rekening bank, pembuatan SIUP (Surat izin Usaha Perdagangan), hingga pembuatan paspor/visa.

Mempermudah Urusan Perpajakan

Manfaat dari NPWP ialah berkaitan secara langsung dengan kemudahan pengurusan segala bentuk administrasi perpajakan. Jika tidak memiliki NPWP, kita sebagai wajib pajak bisa jadi tidak diperkenankan untuk membuat dokumen-dokumen tersebut. Sebagai contoh, dokumen administrasi yang membutuhkan NPWP ialah pengurusan restitusi pajak, pengajuan pengurangan pembayaran pajak, mengetahui jumlah pajak yang mesti dibayar, dan lain-lain.”

Bagaimana Cara Mendapatkan Kode Billing?

“Mengacu pada Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2019 sebagai pengganti dari Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2017, kode billing bisa didapatkan melalui beberapa cara berikut ini:

Melalui kanal resmi DJP Online (e-Billing). Kode billing bisa didapatkan di www.pajak.go.id.

Melalui e-Bill Pajakku sebagai Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP). Pembuatan kode billing dapat diakses melalui https://e-billing.pajakku.com/.

Melalui layanan mandiri di kantor Pos atau bank persepsi melalui asistensi petugas bank atau kantor Pos.

Melalui aplikasi WhatsApp dan SMS ke KPP domisili.”

Apa Kewajiban Wajib Pajak Orang Pribadi?

“Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki kewajiban sebagai berikut:

Mendaftarkan diri menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagai identitas Wajib Pajak

Menghitung pajak dengan sistem pajak self-assessment

Membayar pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan pajak

Melaporkan pajak dengan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sebelum tanggal jatuh tempo.”

Apa Kewajiban Wajib Pajak Badan?

“Wajib Pajak Badan di antaranya memiliki kewajiban sebagai berikut:

Kewajiban mendaftarkan usahanya untuk mendapatkan NPWP

Memberikan informasi yang berhubungan dengan aspek perpajakan yang akan dilakukan Direktorat Jenderal Pajak

Kewajiban melakukan pembayaran, pelaporan, pemungutan, atau pemotongan pajak sesuai ketentuan perpajakan

Kewajiban melakukan pemeriksaan dan memberikan keterangan jika diperlukan. “

Kapan Dilakukan Pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi?

Penyampaian SPT Tahunan PPh paling lama ialah 3 bulan setelah akhir Tahun Pajak. Tahun Pajak sendiri adalah jangka waktu satu tahun kalender, kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Siapa Yang Dikecualikan Dari Pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi?

Pengecualian pelaporan SPT Tahunan dilakukan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang dalam satu tahun pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak lebih dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Kapan Dilakukan Pelaporan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan?

Batas waktu penyampaian SPT paling lama ialah empat bulan setelah akhir Tahun Pajak. Jangka Tahun Pajak ialah jangka waktu satu tahun kalender. Kecuali, jika Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Apa Sanksi Telat Bayar Pajak?

Denda telat bayar pajak sebesar 2% per bulan dari waktu biaya pajak yang belum dibayarkan. Denda telat bayar pajak memiliki waktu yang dihitung dari sejak tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran pajak tersebut. Apabila Wajib Pajak terlambat membayar dari batas waktunya, maka hitungan bayar denda dihitung 1 bulan penuh.

Apa Sanksi Telat Lapor Pajak?

“Denda yang dibayarkan untuk wajib pajak yang telat melaporkan SPT ialah:

Denda telat lapor SPT bagi Wajib Pajak Badan sebesar Rp1.000.000 per SPT Tahunan Pajak

Denda telat lapor SPT bagi Wajib Pajak Orang Pribadi sebesar Rp100.000 per SPT Masa Pajak

Sanksi administrasi untuk SPT Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi sebesar Rp500.000 per SPT Masa Pajak dan Rp100.000 per SPT Masa Pajak bagi SPT dengan masa lainnya.”